Ada apa di Kota Pahlawan

WIN.com: Bila Anda tinggal di Surabaya dan sekitarnya, mungkin dalam beberapa pekan terakhir tak asing dengan sekelompok orang yang melakukan gerak jalan. Mereka bukan anggota TNI/POLRI yang sedang latihan baris-berbaris. Melainkan warga kota yang sedang menyiapkan diri mengikuti gerak jalan Mojokerto-Surabaya, dalam rangka peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November.

Gerak jalan Mojokerto-Surabaya kembali rutin digelar setiap tahun setelah sebelumnya ditiadakan. Ini hanya satu dari beberapa kegiatan yang digelar memeriahkan peringatan Hari Pahlawan. Biasanya, Pemerintah Kota Surabaya juga menggelar konser musik sebagai puncak acara peringatan.

Meriah memang peringatan Hari Pahlawan di Surabaya bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Ini tak lepas dari predikat Kota Pahlawan yang disandang Surabaya. Karena tonggak sejarah peringatan Hari Pahlawan bermula dari peristiwa besar peperangan bangsa Indonesia, khususnya arek-arek Surabaya melawan Belanda pada 10 November 1945, yang kala itu dimotori Bung Tomo.

Upaya Pemkot Surabaya maupun Pemerintah Provinsi Jatim memeriahkan peringatan Hari Pahlawan patut diapresiasi. Namun itu rasanya tidak cukup. Sebab, yang terpenting bukanlah kemeriahan acara saat peringatan, melainkan predikat Surabaya sebagai Kota Pahlawan seberapa kuat melekat di benak masyarakat.

Contoh gampangnya, apa yang terlintas di pikiran seseorang saat mendengar Surabaya. Mungkin untuk saat ini, yang terlintas di pikiran seseorang saat mendengar Surabaya adalah kota besar, kota yang banyak mall, kota yang padat penduduk, kota yang lalu lintasnya macet dan sebagainya.

Jika yang diketahui atau diingat seseorang dari Surabaya hanya kota besar, mall, padat penduduk, jalanan macet dan sebagainya, tentu itu sebagai bukti bahwa citra Kota Pahlawan telah luntur dari benak seseorang seiring derasnya arus moderenisasi.

Sebagai kota besar, arus moderenisasi di Surabaya memang tak bisa dicegah. Namun sebenarnya, hal itu masih bisa disiati Pemkot Surabaya atau pihak terkait lainnya. Terlebih, di Surabaya banyak menyimpan potensi yang bisa digunakan untuk menguatkan citra Kota Pahlawan. Adapun potensi itu ada di sektor kepariwisataan.

Sebelumnya, Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) sempat mengeluhkan Surabaya yang minim obyek wisata (whatindonews.com, Rabu 9/10/13). Padahal sebenarnya, banyak potensi wisata sejarah di Surabaya yang sekaligus bisa dimanfaatkan untuk menguatkan citra Kota Pahlawan.

Surabaya bisa seperti Yogyakarta yang identik dengan keraton. Memang, di Surabaya tak ada bekas kerajaan atau keraton. Namun Surabaya menyimpan banyak gedung peninggalan Belanda yang dulu menjadi pusat pemerintahan, dan sebagian masih berdiri kokoh sampai kini. Hingga 2011, Tim Cagar Budaya Pemkot Surabaya sudah menetapkan 169 bangunan peninggalan Belanda di Surabaya sebagai cagar budaya.

Di antaranya adalah Gedung Balai Kota Surabaya, yang di sekitarnya ada Kompleks Rumah Dinas Walikota Surabaya, Kompleks Balai Pemuda dan Gedung Negara Grahadi. Hingga kini, tempat tersebut masih digunakan sebagai pusat pemerintahan. Sedangkan Kompleks Balai Pemuda lebih sering disewakan sebagai ajang menggelar pelbagai even.

Padahal bila dioptimalkan lagi, keberadaan tempat tersebut bisa difungsikan untuk menarik banyak wisatawan. Bukan hanya dari dalam negeri, tetapi juga mungkin dari luar negeri. Karena, bangunan tersebut murni arsitektur Belanda yang umurnya sudah ratusan tahun, namun tetap kokoh berdiri sampai sekarang.

Untuk pengelolaan Balai Kota dan sekitarnya sebagai tempat wisata, mungkin Pemkot Surabaya bisa belajar dari Thailand. Di Bangkok, ada obyek wisata bernama Kompleks Grand Palace. Dulunya, kawasan tersebut merupakan tempat tinggal Raja Thailand. Namun, sekarang murni difungsikan sebagai kawasan wisata.

Yang ditawarkan dari Kompleks Grand Palace hanya keindahan arsitektur bangunan. Yakni, perpaduan arsitektur Thailand dengan Eropa. Jadi, turis hanya berjalan-jalan di sekitar bangunan yang sudah berdiri sejak 1782 tersebut, tanpa masuk ke ruangan. Karena memang bekas istana raja tersebut tak dibuka untuk umum.

Selain itu, Surabaya masih menyimpan bangunan peninggalan Belanda lainnya yang memiliki nilai sejarah tinggi. Seperti Stasiun Semut, yang merupakan stasiun pertama kali yang dibangun Belanda di Indonesia, serta bangunan atau cagar budaya lainnya.

Kemudian, Surabaya juga bisa seperti Kota Blitar yang identik dengan Makan Bung Karno. Tak kalah, sebenarnya Surabaya juga menyimpan sejarah besar Soekarno atau Bung Karno. Sejarah mencatat, sang Proklamator sekaligus Presiden RI pertama itu ternyata dilahirkan di sebuah rumah di Surabaya, tepatnya di Jalan Pandean IV/40 Surabaya.

Lalu, ada pula makam pencipta lagu Indonesia Raya. Sebagian besar warga Indonesia sudah pasti tahu pencipta lagu Indonesia Raya adalah Wage Rudolf (WR) Soepratman. Tapi mungkin tak banyak yang tahu tempat peristirahatan terakhir WR Soepratman ada di Jalan Kenjeran, Surabaya. Sebelum meninggal, WR Soepratman pernah ditangkap Belanda ketika menyiarkan lagu Indonesia Raya dan di penjara Kalisosok, Surabaya.

Keberadaan tempat-tempat bersejarah itulah yang mestinya juga dijadikan sebagai daya tarik Surabaya menarik wisatawan dalam dan luar negeri, sekaligus menguatkan citra Kota Pahlawan. Namun, dengan potensi wisata sejarah yang cukup besar, sekarang justru memunculkan pertanyaan, ada apa di Kota Pahlawan?

Pemkot Surabaya sendiri seakan lebih fokus pada pengembangan kota moderen dan terkesan mengabaikan peristiwa besar perjuangan di Indonesia. Bahkan tak jarang, pembangunan di Surabaya banyak merusak dan kian meminggirkan tempat-tempat bersejarah yang bisa menjadi penguat citra Kota Pahlawan itu sendiri.(win6)

Komentar