Demokrasi Bajindul Biangane..
Oleh, Hadi Prasetyo, Pengamat Sosial Budaya
Istilah ini memberi inspirasi tulisan tentang demokrasi politik ini. Selamat menikmati.
Event pemilu (baik pilpres, pileg maupun pilkada) sangatlah menarik. Bukan saja bagi mereka yang interes dengan masalah negara, kebangsaan atau pemerintahan, tetapi juga bagi para pebisnis (mulai yang oligarkhi kelas kakap hingga pengusaha biasa), para oportunis, serta para petaruh (pejudi).
Para kontestan dan pendana (oligarkhi) dibelakangnya sudah barang tentu harus menguasai pengetahuan tentang profil atau karakter pemilih yang sangat beragam, agar bisa menarik suara dukungan voters sebanyak-banyaknya.
Rumusan visi dan misi serta program-program yang ditawarkan diarahkan untuk bisa menarik dan mempengaruhi ketertarikan voters (elektabilitas).
Setidaknya ada 7 kelompok pemilih dengan karakter unik yang tentu menjadi perhatian para kontestan (dan bandar pendana-nya) :
1. Pemilih dengan intelektualitas cukup matang, standart moralitas dan mempunyai daya analisis cukup (tipe A)
2. Pemilih terkait loyalitas partai atau ormas yang diikuti, baik fornal maupun informal (tipe B)
3. Pemilih pemula, punya intelektualitas minimal setara SMA, kurang punya pengalaman, emosional dan kurang daya analitis (tipe C)
4. Pemilih yang kurang literasi, pengetahuannya lebih didasarkan dari mendengar gosip2 di sekitarnya (tipe D)
5. Pemilih yang pragmatis dan transaksional (tipe E)
6. Pemilih yang kurang kepedulian terhadap persoalan politik/kenegaraan, sosial, lugu, dan sensitif terhadap kebutuhan sehari2 serta sapaan dan keramahan (tipe F)
7. Pemilih yang "anut grubyuk", ikut kebanyakan orang yang menjadi relasi sosialnya sehari2 (tipe G)
Bermacam strategi dan taktik persuasi dilakukan para kontestan untuk memenangkan kontestasi. Mulai dari adu gagasan, janji-janji, money politic, kolusi hingga intimidasi (tentu dilakukan oleh mereka yang punya kekuasaan- baik dengan memanfaatkan institusi formal maupun informal yang sering disebut cawe2).
Bahkan dewasa ini intimidasi jabatan maupun bargain kasus-kasus hukum pidana menjadi makin marak, meluas dan dianggap biasa-biasa saja (wajar) oleh rezim penguasa, walau diprotes sana-sini oleh masyarakat pegiat demokrasi.
Semua strategi dan taktik diaplikasikan terhadap ke 7 profil pemilih diatas untuk "menang"!!
Yang menjadi fokus kita adalah bagaimana sesungguhnya prosentase komposisi pemilih berdasarkan profil karakter tersebut?
Ternyata pemilih tipe A dan B jumlahnya relatif sedikit dibanding tipe C, D, E, F dan G yang banyak. Pemilih tipe B sampai G mudah diatur dan dikendalikan dengan uang politik
Belum lagi bila ditambah tipe B yang loyalitas militansinya rapuh, maka jumlah voters yang mudah diatur dan dibeli menjadi semakin banyak saja.
Kondisi ini mengakibatkan votes pemilih yang memberi mandat kekuasaan, bukan lagi lahir dari kesadaran dan tanggung jawab rakyat, tetapi lahir by designed oleh rezim penguasa, demi kelangsungan kekuasaan, dan bagi-bagi "kemakmuran" di antara anggota-anggotanya.
Sungguh tragis! Proses demokrasi yang diharapkan jadi instrumen keadilan, menjadi seperti formalitas legal yang memanipulasi mandat rakyat untuk kemakmuran rezim disatu sisi, dan membiarkan rakyat terus dalam penderitaan yang tiada akhir. Ironisnya, rakyat tidak menyadari hal itu, dan dianggap biasa-biasa saja.
Lalu apa yang bisa diharapkan dari demokrasi sontoloyo seperti ini?
Apalagi ketika money politics makin marak, maka sebagian besar masyarakat yang oportunis dan "ber-DNA" peminta-minta uang suap poltik, semakin mentradisi dari tahun ketahun; dari pemilu ke pemilu.
Lalu, mau jadi apa bangsa ini?
Pilkada serentak 2024 membuktikan betapa masih besar pengaruh Mulyono terhadap rezim kekuasaan. Mulyono menang, dan nampaknya Samsul akan tembus jadi Presiden RI th 2029.
Dan Indonesia pun menangis pilu, dan menangis malu... sangat sangat malu!
Ada teman berbisik: " Lha lalu di mana Presiden Prabowo yang katanya hebat, merah putih, punya obsesi pertahanan negara yang kuat, dan menjadikan Indonesia negara maju dan besar?" Lha kok bolak balik ke Solo?
Teman di samping saya berbisik" Waah kayaknya situasi politik kita memang sudah bajindul biangané silit komplit" (maaf ngumpat)
# Astagfirullahaladzim. Wallahualam.
(HP)