BI Dorong Penggunaan Rupiah dalam Transaksi Lintas Negara



KANALSATU - Pemerintah terus mendorong Penggunaan Rupiah dalam transaksi lintas negara. Ini tidak lain untuk mengurangi tekanan nilai tukar rupiah.

Direktur Departemen Internasional Bank Indonesia, Ita Vianty mengatakan Local Currency Transaction (LCT) atau penggunaan rupiah saat bertransaksi dengan mitra bisnis di lain negara mendorong stabilitas nilai tukar rupiah. Menurut Ita, saat ini ketergantungan dengan mata uang tertentu cukup tinggi.

Menurutnya, penggunaan dollar AS dalam aktivitas perdagangan internasional memang masih dominan. Menurut data yang dihimpun BI, 80 persen impor masih menggunakan USD. Sedangkan, 94 persen ekspor menggunakan juga mata uang terkuat dunia itu.

Padahal, lanjut dia, LCT sebenarnya punya manfaat yang luas. Pasalnya, kurs dan biaya jelas lebih kompetitif.

Belum lagi, perusahaan bisa mendapatkan relaksasi threshold transaksi valas dalam skema tersebut. Positifnya, makin banyak perusahaan yang sadar dengan skema tersebut.

Hal tersebut digambarkan dengan pertumbuhan nilai transaksi LCT yang mencapai USD 6.285 juta tahun lalu. ’’Hingga Juli tahun ini, nilainya sudah mencapai USD 5.428 miliar. Rasio LCT tahun ini sudah mencapai 7,51 persen dari total perdagangan internasional,’’ kata Ita dalam Jatim Talk-Road to East Java Economic Forum (EJAVEC) 2024, Senin (30/9/2024).

Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Rudy Rahmaddi mengungkapkan, secara nasional, tercatat pemanfaatan skema tersebut sejak Desember 2022 hingga September 2024, baru ada 103 dokumen yang menggunakan skema LCT. Hanya 0,0024 persen dari total 4,19 juta dokumen impor yang ditangani Ditjen Bea Cukai.

Dari total dokumen tersebut, nilai devisa dari LCT baru mencapai Rp123 Miliar. Alias, hanya 0,0015 persen dari total devisa impor senilai Rp7.8993 triliun.

Saat ini, baru ada empat negara mitra yang telah mempunya mekanisme LCT dengan Indonesia. Yakni, Tiongkok, Malaysia, Jepang, Thailand.

Sedangkan negara yang sebentar lagi menerapkan adalah Korea Selatan. Kemudian, ada beberapa negara yang sedang dalam proses untuk menjadi mitra seperti India, Singapura, dan Uni Emirat Arab.

’’Di Jatim sendiri, baru ada 17 dokumen dengan nilai devisa Rp14,67 miliar pada periode 2022-2024. Padahal, total dokumen impor di wilayah tersebut mencapai 494 ribu dengan nilai devisa Rp1.119 triliun,’’ ungkap Rudy Rahmaddi.

Untuk jenis komoditas, terbesar masih buah-buahan dengan devisa Rp6,43 milar dan pangan olahan sebesar Rp3,56 miliar. Sisanya ada sparepart mesin, barang cetakan, alat kesehatan, pangan olahan, kimia dan mesin

Jika dilihat negara mitra atau pemasok, hanya ada dua negara mitra yang memanfaatkan fasilitas tersebut? yaitu Thailand dan Malaysia. Thailand adalah negara dengan penggunaan LCT terbesar yang mencapai 76,5 persen. Sisanya sebanyak 23,5 persen dari Malaysia.

Sedangkan, Tiongkok yang secara nasional sudah memanfaatkan skema tersebut belum terlihat di data Jatim. "Ini adalah tantangan yang harus terus kita dorong, yang salah satunya untuk melindungi kestabilan nilai tukar," tegasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, program LCT diusung pada 2022 untuk bisa menjaga stabilitas nilai rupiah dengan menghindari penggunaan mata uang jangkar dalam perdagangan internasional. Melalui program ini, pebisnis bisa melakukan transaksi dengan negara mitra menggunakan dua mata uang tanpa harus terhubung ke mata uang seperti dollar AS (US$) atau Euro (EUR).

’"Untuk menggalakkan program ini, pemerintah sudah memberikan benefit. Di lingkup Bea Cukai, ada insentif impor barang LCS yang bisa bebas dari jalur merah,’" jelasnya.

Sebagai informasi jalur Merah adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

’’Harus ada pemetaan dari pemangku kepentingan tentang komoditas apa saja dari negara mitra yang bisa melalui skema LCT. Misalnya impor minyak mentah yang potensi nilai devisanya mencapai Rp19,71 triliun. Kalau bisa dialihkan maka kinerja LCT bakal terbantu,’’ jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, CEO Tancorp Abadi Nusantara Hermanto Tanoko mengatakan bahwa pihaknya adalah salah satu perusahaan yang melakukan aktivitas impor dan ekspor. Namun hingga kini masih belum menggunakan skema LCT karena biaya yang dikeluarkan dinilai akan lebih tinggi mengingat nilai tukar rupiah seringkali tidak stabil.

"Kembali lagi, kepercayaan kepada IDR bagaimana? Kalau mesti hedging dan segala macem maka biaya akan lebih tinggi. Karena kalau pakai LCT dan rupiahnya tidak stabil kami akan mengalami suatu kerugian. Dari sisi kami bagaimana sih rupiah bisa stabil," ujarnya.

Untuk itu, Ia meminta pemerintah harus bisa membuat rupiah dipercaya di dalam negeri dan juga di luar negeri. (KS-5)

Komentar