Guru Bangsa Yang Tidak Mau Ditokohkan
Oleh: Hadi Prasetyo
Tgl. 12 Nov 2023, di kediaman KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) salah seorang tokoh bangsa yg dihormati dan disegani, di sowani 19 tokoh bangsa lainnya, bersilahturahmi. Orang2 baik yg sesungguhnya tidak mau disebut tokoh, juga bukan guru, lebih suka disebut aktivis.
Dialog dan saling curhat terfokus pd situasi politik akhir2 ini. Bukan tentang dinamika kontestasinya, tetapi jauh lebih mendasar, yaitu soal nilai, asas, dan norma-etika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yg tentu saja tidak terlepas dari fakta sejarah perjuangan bangsa ratusan tahun lalu yg berujung pada Proklamasi Kemerdekaan dan rumusan UUD 1945.
Fakta sejarah perjuangan yg kemudian bergerak melenceng hingga diluruskan lagi pada Reformasi 1998. Dan saat ini lagi2 kita dihadapkan pada fakta melenceng serta melukai hati rakyat dipicu putusan MK dan dibuktikan "cacat moralnya" oleh MKMK.
Inilah pokok persoalan yg menjadi keprihatinan 19 tokoh bangsa (akan diperluas lagi ke semua tokoh di seluruh pelosok negeri).
Para tokoh bangsa lintas agama keyakinan ini, *steril dari kooptasi penguasa politik pemerintahan*. Beliau2 itu pikiran, batin dan jiwanya sudah pd tataran _'begawan'- atau _'satrya pinandhita'_ yg memperjuangkan nilai dan moral.
Kalaupun ada obsesi, para tokoh begawan ini selalu berusaha melekat pada obsesi _'suci' yg 'surgawi'_ , yg penuh nilai2 dan azas illahiah, moralitas dan etika yg luhur, yg seharusnya terejawantahkan dlm norma2 bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks 'tata praja', rakyat boleh saja berbeda pendapat atas dasar tafsir filsafat hukum, filsafat sosiologis, hitung2an rasionalitas tentang kuantitas maupun kualitas yg dianggap benar dlm politik pemerintahan dan kekuasaan, juga tafsir keabsahan hukum.
Tetapi yg tersembunyi dibalik tafsir keabsahan hukum ini adalah *kenyataan* : *bukankah hukum yg berkembang, justru ditemukan dan dirumuskan dari "ladang moral-etika"?*
Moral adalah tentang mana hal yang baik dan mana hal yang tidak baik. Sedangkan etika itu sendiri adalah tingkah laku manusia berdasarkan hal-hal yang sesuai dengan moral tadi.
Etika bisa berarti filsafat bidang moral yang mengatur bagaimana manusia seharusnya bertindak.
Etika secara bahasa artinya tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Dalam filsafat hukum, dikenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang.
Dalam konsepsi tersebut, *etika* berada pada tataran norma dan asas, *dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum.* Implikasinya, *pelanggaran etika* secara sosiologis mendapatkan _*celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum* _
Sungguh!. Jika kita bisa memahami pergumulan batin para guru bangsa tsb betapa, pencerahan mengenai nilai, azas, moral-etika dan norma, sangat perlu dan selalu harus di _"refresh"_ bagi mereka yg masih bermain dlm lingkungan kekuasaan. Yg masih bergumul dengan konsep menguasai atau dikuasai!! Yaitu kekuasaan yg rentan tergelincir kedalam kekhilafan dan kemabukan.
Inilah yg sedang dipergumulkan para guru bangsa.
Tentu ini menjadi 'sampah' bagi mereka yg tertutup hati pikiran dan nuraninya dengan kekuasaan; nafsu menguasai atau tidak mau dikuasai. Walau merekapun sadar bahwa tidak ada yg abadi dlm kekuasaan.
Merekapun sadar bahwa pada akhirnya mereka juga akan menjadi "sampah" ketika tidak punya lagi kekuasaan. Entah dimakan usia.
Entah dimakan bencana, entah menjadi simbol noda, entah terkena azab TUHAN yang Maha Adil.
Hanya mereka yg merawat nilai, azas, moral-etika dan norma yg luhur yg tidak terombang ambing gejolak kehidupan, dan mewariskan nama harum, kenangan indah serta doa dari keturunan dan generasi2 selanjutnya.
Semoga catatan ini membuka hati dan pikiran yg bebal dan kementhus.
Wallahualam
(HP 14 Nov 2023)
* pemerhati sosial politik & budaya
Dialog dan saling curhat terfokus pd situasi politik akhir2 ini. Bukan tentang dinamika kontestasinya, tetapi jauh lebih mendasar, yaitu soal nilai, asas, dan norma-etika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yg tentu saja tidak terlepas dari fakta sejarah perjuangan bangsa ratusan tahun lalu yg berujung pada Proklamasi Kemerdekaan dan rumusan UUD 1945.
Fakta sejarah perjuangan yg kemudian bergerak melenceng hingga diluruskan lagi pada Reformasi 1998. Dan saat ini lagi2 kita dihadapkan pada fakta melenceng serta melukai hati rakyat dipicu putusan MK dan dibuktikan "cacat moralnya" oleh MKMK.
Inilah pokok persoalan yg menjadi keprihatinan 19 tokoh bangsa (akan diperluas lagi ke semua tokoh di seluruh pelosok negeri).
Para tokoh bangsa lintas agama keyakinan ini, *steril dari kooptasi penguasa politik pemerintahan*. Beliau2 itu pikiran, batin dan jiwanya sudah pd tataran _'begawan'- atau _'satrya pinandhita'_ yg memperjuangkan nilai dan moral.
Kalaupun ada obsesi, para tokoh begawan ini selalu berusaha melekat pada obsesi _'suci' yg 'surgawi'_ , yg penuh nilai2 dan azas illahiah, moralitas dan etika yg luhur, yg seharusnya terejawantahkan dlm norma2 bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks 'tata praja', rakyat boleh saja berbeda pendapat atas dasar tafsir filsafat hukum, filsafat sosiologis, hitung2an rasionalitas tentang kuantitas maupun kualitas yg dianggap benar dlm politik pemerintahan dan kekuasaan, juga tafsir keabsahan hukum.
Tetapi yg tersembunyi dibalik tafsir keabsahan hukum ini adalah *kenyataan* : *bukankah hukum yg berkembang, justru ditemukan dan dirumuskan dari "ladang moral-etika"?*
Moral adalah tentang mana hal yang baik dan mana hal yang tidak baik. Sedangkan etika itu sendiri adalah tingkah laku manusia berdasarkan hal-hal yang sesuai dengan moral tadi.
Etika bisa berarti filsafat bidang moral yang mengatur bagaimana manusia seharusnya bertindak.
Etika secara bahasa artinya tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Dalam filsafat hukum, dikenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang.
Dalam konsepsi tersebut, *etika* berada pada tataran norma dan asas, *dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum.* Implikasinya, *pelanggaran etika* secara sosiologis mendapatkan _*celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum* _
Sungguh!. Jika kita bisa memahami pergumulan batin para guru bangsa tsb betapa, pencerahan mengenai nilai, azas, moral-etika dan norma, sangat perlu dan selalu harus di _"refresh"_ bagi mereka yg masih bermain dlm lingkungan kekuasaan. Yg masih bergumul dengan konsep menguasai atau dikuasai!! Yaitu kekuasaan yg rentan tergelincir kedalam kekhilafan dan kemabukan.
Inilah yg sedang dipergumulkan para guru bangsa.
Tentu ini menjadi 'sampah' bagi mereka yg tertutup hati pikiran dan nuraninya dengan kekuasaan; nafsu menguasai atau tidak mau dikuasai. Walau merekapun sadar bahwa tidak ada yg abadi dlm kekuasaan.
Merekapun sadar bahwa pada akhirnya mereka juga akan menjadi "sampah" ketika tidak punya lagi kekuasaan. Entah dimakan usia.
Entah dimakan bencana, entah menjadi simbol noda, entah terkena azab TUHAN yang Maha Adil.
Hanya mereka yg merawat nilai, azas, moral-etika dan norma yg luhur yg tidak terombang ambing gejolak kehidupan, dan mewariskan nama harum, kenangan indah serta doa dari keturunan dan generasi2 selanjutnya.
Semoga catatan ini membuka hati dan pikiran yg bebal dan kementhus.
Wallahualam
(HP 14 Nov 2023)
* pemerhati sosial politik & budaya