Unboxing Perasaan & Rasionalitas Silent Majority
Oleh: Hadi Prasetyo
- Sebagian besar rakyat biasa memilih diam dan tidak mengekspresikan keberpihakannya terhadap issue politik dikala koalisi partai - partai heboh saling serang, play victim, membangun narasi politik yang framing dan hoax.
Itulah "silent majority" yang ditakuti para kontestan pilpres/pemilu, karena mereka secara jumlah mayoritas, dan menjadi penentu dibilik suara.
Saat ini medsos dipenuhi koar - koar pengamat, pakar, hingga buzzer. Ada banyak yang framing, dan hanya sedikit sekali yang obyektif profesional. Maka bagi para rakyat biasa saat ini sedang mengamati dan menilai situasi secara cermat dan obyektif (walau juga kerap dengan rasa tidak suka).
Jangan dikira karena anggapan bahwa silent majority awam politik dan berpendidikan menengah bawah, lalu bisa dikibuli dengan berita - berita tendensius dan framing untuk bangkitkan emosi keberpihakan.
Ooh tidak!! Sekali lagi tidak! no way!
Sekian kali pemilu, sekian kali mengalami aneka drama politik yang menindas, yang sadis dan yang lebay, "silent majority" sekarang ini sudah lebih pintar, lebih punya nalar logis. Lebih terlatih hati nuraninya, dan kapok dikibulin para politisi.
Beda dengan 5 atau 10 th yang lalu. Mereka sudah terlatih bermain gawai mengulik berita yang termuat dalam medsos bertahun - tahun di era digital ini (termasuk track record), untuk terbiasa berpikir 'analitis sederhana'.
Apalagi dengan sentuhan moral dan etika agama keyakinan yang dianut masing - masing, silent majority bisa menilai dan bersikap walau tidak diekspresikan, kecuali di bilik TPS.
Berita - berita pengkhianatan, atau sikap kementhus dan inkonsistensi, itu saja sudah bisa membuahkan penilaian "obyektif" yang negatif ala silent majority. Lalu, kata rakyat biasa dalam hati: "awas ya gak akan saya coblos di TPS!!".
Maka berhati - hatilah para politisi. Jangan anggap silent majority itu bodoh dan bisa dibeli. Rakyat biasa yang silent majority tidak pernah kenal si A, B, dan C yang sedang berkonstetasi. Nothing to loose!!.
Bagi rakyat biasa yang setidaknya 5 -10 th terakhir tidak merasa "imbas rejeki"(impact of good fortune) baik langsung maupun tidak langsung, dari "politik kekuasaan" yang berganti ganti, mereka tidak peduli.
Kalaupun ada narasi bahwa pemerintah berhasil bangun proyek - proyek besar dan hebat, ya itu kan memang kewajiban pemimpin!!...masak minta balas budi?!
Rasa hormat dan pujian kan sudah cukup!, tapi jangan nglunjak. Apa lagi menodai respect publik dengan memainkan kekuasaan berlebihan. Itu noda. Itu yang dibenci oleh silent majority.
Sesungguhnya harapan yang utama rakyat biasa adalah hidup dalam suasana damai, berkeadilan (fairneess) dan bisa bekerja secara nyaman.
Rakyat biasa tidak perlu lagi mikir balas budi karena dapat nasi bungkus, bansos (bantuan sosial), kredit murah, juga jabatan.
Toh, bagi rakyat biasa, siapapun rejim yg berkuasa, tetap saja harus bekerja keras banting tulang untuk mengais rejeki, buat hidup sehari - hari.
Beda dengan mereka yang petualang, yang mengais rejeki dekat kekuasaan, apalagi cari jabatan menteri atau komisaris. Ahaa!... itu kelompok makhluk homo economicus penuh nafsu. Itu kaum yg memobilisasi massa dan suka bangun drama politik berbayar.
So....bagi silent majority, harapan dan doa hanya kepada Tuhan yang Maha Adil: "biarlah keadilan bergulung -gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir".
Tuhan akan membuka aib mereka yang munafik dan jahat, serta menghukum mereka di depan seluruh rakyat.
Semoga ..... Wallahualam.
(12 Nov 2023)
* pemerhati sosial politik
Itulah "silent majority" yang ditakuti para kontestan pilpres/pemilu, karena mereka secara jumlah mayoritas, dan menjadi penentu dibilik suara.
Saat ini medsos dipenuhi koar - koar pengamat, pakar, hingga buzzer. Ada banyak yang framing, dan hanya sedikit sekali yang obyektif profesional. Maka bagi para rakyat biasa saat ini sedang mengamati dan menilai situasi secara cermat dan obyektif (walau juga kerap dengan rasa tidak suka).
Jangan dikira karena anggapan bahwa silent majority awam politik dan berpendidikan menengah bawah, lalu bisa dikibuli dengan berita - berita tendensius dan framing untuk bangkitkan emosi keberpihakan.
Ooh tidak!! Sekali lagi tidak! no way!
Sekian kali pemilu, sekian kali mengalami aneka drama politik yang menindas, yang sadis dan yang lebay, "silent majority" sekarang ini sudah lebih pintar, lebih punya nalar logis. Lebih terlatih hati nuraninya, dan kapok dikibulin para politisi.
Beda dengan 5 atau 10 th yang lalu. Mereka sudah terlatih bermain gawai mengulik berita yang termuat dalam medsos bertahun - tahun di era digital ini (termasuk track record), untuk terbiasa berpikir 'analitis sederhana'.
Apalagi dengan sentuhan moral dan etika agama keyakinan yang dianut masing - masing, silent majority bisa menilai dan bersikap walau tidak diekspresikan, kecuali di bilik TPS.
Berita - berita pengkhianatan, atau sikap kementhus dan inkonsistensi, itu saja sudah bisa membuahkan penilaian "obyektif" yang negatif ala silent majority. Lalu, kata rakyat biasa dalam hati: "awas ya gak akan saya coblos di TPS!!".
Maka berhati - hatilah para politisi. Jangan anggap silent majority itu bodoh dan bisa dibeli. Rakyat biasa yang silent majority tidak pernah kenal si A, B, dan C yang sedang berkonstetasi. Nothing to loose!!.
Bagi rakyat biasa yang setidaknya 5 -10 th terakhir tidak merasa "imbas rejeki"(impact of good fortune) baik langsung maupun tidak langsung, dari "politik kekuasaan" yang berganti ganti, mereka tidak peduli.
Kalaupun ada narasi bahwa pemerintah berhasil bangun proyek - proyek besar dan hebat, ya itu kan memang kewajiban pemimpin!!...masak minta balas budi?!
Rasa hormat dan pujian kan sudah cukup!, tapi jangan nglunjak. Apa lagi menodai respect publik dengan memainkan kekuasaan berlebihan. Itu noda. Itu yang dibenci oleh silent majority.
Sesungguhnya harapan yang utama rakyat biasa adalah hidup dalam suasana damai, berkeadilan (fairneess) dan bisa bekerja secara nyaman.
Rakyat biasa tidak perlu lagi mikir balas budi karena dapat nasi bungkus, bansos (bantuan sosial), kredit murah, juga jabatan.
Toh, bagi rakyat biasa, siapapun rejim yg berkuasa, tetap saja harus bekerja keras banting tulang untuk mengais rejeki, buat hidup sehari - hari.
Beda dengan mereka yang petualang, yang mengais rejeki dekat kekuasaan, apalagi cari jabatan menteri atau komisaris. Ahaa!... itu kelompok makhluk homo economicus penuh nafsu. Itu kaum yg memobilisasi massa dan suka bangun drama politik berbayar.
So....bagi silent majority, harapan dan doa hanya kepada Tuhan yang Maha Adil: "biarlah keadilan bergulung -gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir".
Tuhan akan membuka aib mereka yang munafik dan jahat, serta menghukum mereka di depan seluruh rakyat.
Semoga ..... Wallahualam.
(12 Nov 2023)
* pemerhati sosial politik