Menakar Kekuatan Demokrasi & Idealisme Pemilu 2024

Oleh: Yadafial Maulana Hammi*

Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia, setelah Amerika Serikat, dan India. Meskipun pilar sistem demokrasi di negara ini berkembang dengan baik, namun esensi demokrasi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin terbaik di semua tingkatan masih perlu mendapat perhatian. Sehingga perlu upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi sehingga kepercayaan dan optimisme masyarakat terhadap pemimpinnya semakin meningkat.

Mengungkap nasib demokrasi maka hanya akan mengarah pada 2 poin penting demokrasi, yaitu penguatan demokrasi atau pelemahan demokrasi. Pelemahan demokrasi memiliki 2 karakteristik yaitu, mengarah kembali pada kondisi otoriter (authoritarian resurgence) dan karakteristik kedua yang disebut oleh Colin Crouch (2004) sebagai “post-democracy"

Kecenderungan inti post-democracy pada umumnya terjadi di Indonesia. Inilah yang menyebabkan secara substansi demokrasi kita menjadi elitis dan dikangkangi oleh kekuatan oligarki yang sulit ditandingi. Ini terjadi baik pada level nasional maupun lokal. Dengan kondisi demikian, munculah sebuah demokrasi tanpa demos.

Fenomena ini bukan hanya terjadi pada saat ini, namun telah memiliki gejala-gejala sejak awal reformasi. Tercermin dari berbagai istilah yang diberikan oleh beberapa pemerhati politik Indonesia, seperti “Delegative Democracy” (Slatter 2004), “Patrimonial Democracy” (Weber 2006), “Patronage Democracy” (Klinken 2009), “Political Cartel” (Ambardi 2009), “Clientelism” (Aspinal dan Berenschot 2019; Rahmawati 2018), dan “Oligarchy” (Bunte and Ufen 2009, Hadiz and Robison 2004, Winters, 2011).

Mengikuti perasaan kenegaraan masyarakat indonesia yang dipenuhi energi demokrasi namun belum terkatalisasi dengan baik, maka 2024 adalah titik penting dimulainya ide pemecahan solusi, dari ratusan konflik demokrasi pasca Pemilu terakhir 2019 hingga hari ini. Problem

Demokrasi era disrupsi sudah menjadi suatu kebiasaan yang biasa saja terjadi di semua kalangan masyarakat. Diskusi Cebong dan kampret yang terjadi di masa demokrasi periode lalu merupakan fenomena baru yang membuat masyarakat Indonesia belajar betapa zaman telah bergeser pada kondisi politik yang keruh dan mempolarisasi masyarakat indonesia kala itu. Meskipun fenomena ini makin terdegradasi oleh kesadaran masyarakat akan objektifitas di media namun hal ini tak pelak menimbulkan pertanyaan, dari mana dan sampai kapan. Tentunya Negara harus hadir sebagai perwujudan utuh dalam satu cita cita bangsa indonesia yang melindungi segenap warga negara indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian dunia.

Pada pemilu 2024 yang akan kita hadapi sebentar lagi, tentu prosesnya akan menjadi tolak ukur perkembangan masyarakat demokrasi kita di era disrupsi, di era informasi yang serba cepat. Tahapan pemilu yang sudah berjalan menuju 14 februari 2024 secara ideal harus dimaknai oleh masyarakat indonesia sebagai perjalanan menentukan nasib bangsa sehingga penting untuk masyarakat indonesia berpartisipasi aktif, menjaga bersama jalannya setiap tahapan pemilu supaya tetap berdiri pada konstitusi negara, bersih, jujur dan adil.

Pada akhirnya garis finish pemilu 2024 akan menjadi agenda besar masyarakat Indonesia yang menunjukkan idealitas pemilu sebagai keutuhan suara rakyat Indonesia. Polarisasi yang pernah terjadi di negeri ini harus menjadi pelajaran penting untuk kita semua untuk menjaga guyub rukun dalam bernegara dalam itikad bersama membangun bangsa. Dan tentu sebagai sarana integrasi bangsa, pemilu harus mampu, kembali menyatukan masyarakat dalam satu bingkai persatuan dan kesatuan demi kemajuan bangsa Indonesia.

 

(*) Penulis adalah Ketua Catalyst institute, Pemerhati Demokrasi & Pemilu

Komentar