Kebijakan Pemerintah Terkait Pandemi, Tidak Optimal

Oleh: Azam Purwoaji, Ketum HMI Cab Surabaya, Kom Ekonomi Airlangga

Perang melawan Covid-19 belum usai. Pagebluk yang melululantahkan stabilitas internasional ini, merupakan keniscayaan yang mesti diperangi setiap negara. Sebab (pandemi coronavirus) sudah menjadi permasalahan akut dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Virus corona yang diduga muncul pertama kali di kota Wuhan, China, akhir Desember 2019, telah menjadi bencana dunia yang sebelumnya tidak pernah terduga intensitas penyebarannya. Di Wuhan, sejumlah orang yang terinfeksi virus ini diketahui memiliki riwayat sama, yaitu pernah mengunjungi pasar basah setempat, yang menjual makanan laut dan hewan.

Sebagaimana dilansir dari The New York Times, setelah terbukti meng-infeksi sejumlah orang, pasar di Wuhan itu segera ditutup dan dilakukan desinfeksi, sehingga hampir tidak memungkinkan menelisik (menyelidiki) dari hewan mana asal muasal virus berbahaya itu berjangkit.

Pemberitaan adanya virus corona yang berasal dari Wuhan ini pun serta- merta mengguncang dunia. Di Indonesia, pertama kali pemerintah mengumumkan adanya kasus positif Covid-19 pada 2 Maret 2020, yakni dua kasus. Spekulasi pemberitaan mengenai kasus positif virus ini pun terus membanjiri ruang publik.

Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono meyakini virus jenis SARS-CoV-2 sebagai penyebab Covid-19 ini sudah masuk Indonesia sejak awal Januari 2020. Namun pemerintah tidak sigap merespons-nya, termasuk tidak segera menutup akses penerbangan dari dan ke Kota Wuhan. Alhasil data kumulatif harian kasus positif Covid rentang Maret - April 2020 grafiknya terus meroket, termasuk di Jakarta dan sejumlah wilayah provinsi lainnya.

Kini, sudah setahun lebih pandemi virus ini menyergap kehidupan masyarakat. Semua berjalan serba tidak normal. Warga dipaksa beradaptasi dengan situasi ambivalen, yakni mengedapankan aspek kesehatan dengan menjaga prokes secara ketat, termasuk menjaga jarak dan tidak berada dalam kerumunan. Tapi di sisi lain warga dihadapkan pada fakta lemahnya gerak perekonomian akibat pembatasan mobilitas orang dan barang.

Seiring dengan itu jumlah kasus positif Covid terus meningkat, sehingga kian membebani psikologis masyarakat, selain memperburuk kondisi perekonomian rakyat.  Data Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, hingga 25 Juli 2021, virus ganas ini telah menginfeksi lebih dari 3 juta orang Indonesia, sekitar 83.000 di antaranya tidak terselamatkan.

Ini adalah permasalahan yang sangat serius, karena berkaitan dengan keselamatan jiwa rakyat Indonesia. Peran pemerintah sangat diharapkan dalam kondisi berat ini. Persoalannya, hampir semua kebijakan pemerintah terkait pandemi, baik  aspek kesehatan maupun ekonomi, masih jauh api dari panggang. Masyarakat menunjukkan rasa ketidakpuasaan-nya.

Sebagaimana diketahui, dalam setahun terakhir pemerintah (dengan berbagai instrumentnya) telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan dan strategi untuk mengendalikan pandemi covid 19.  Setidaknya ada dua kebijakan yang menjadi backbone, Pertama berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan PSBB transisi. Kemudian Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Inti dari kebijakan ini sama, yakni membatasai pergerakan masyarakat.

Akan tetapi kebijakan tersebut kurang tepat waktunya, di mana dalam situasi berat dan serba tidak pasti seperti sekarang ini, pemerintah masih “bermain-main”  dengan diksi dalam mengeluarkan kebijakan. Sejatinya, apapun istilahnya, masyarakat menantikan kebijakan tepat yang terukur – disertai konsekuensi dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya dalam kondisi pagebluk ini.

Kedua, melihat pandemi kian memberatkan, Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI No: 23 TH 2020 tentang pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang notabene menjadi harapan besar masyarakat, sekaligus bagian dari upaya pertahanan ekonomi nasional. Akan tetapi pada implementasinya, kebijakan PEN memiliki potensi tidak optimal dalam realisasinya, maupun ketepatan sasaran terhadap masyarakat yang membutuhkan. Di sisi lain, integritas pejabat pemerintah dalam mengeksekusi dana PEN masih perlu disorot dan dikawal secara bersama – sama.

Dalam penanganan pandemi ini, pemerintah harusnya mampu mengkonstruksi analisa permasalahan berbasis kajian ilmiah, penyediaan data akurat sebagai supported, serta melibatkan pakar kesehatan dan pakar ekonomi, guna menekan jumlah kasus positif covid, serta upaya membangkitkan perekonomian nasional. Selain dari pada itu, diperlukan sensitivitas pemerintah dalam menjaring aspirasi dan memahami psikologis masyarakat terdampak pandemi.

Setidaknya ada beberapa kelemahan fundamental yang patut dikritisi berkaitan kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat, maupun pada kebijakan pelaksanaan PEN, sebagai berikut:

PSBB dan PPKM

Kedua itilah itu sejatinya hanyalah permainan diksi. Penyebaran covid yang cepat dan massif dan telah merenggut banyak nyawa rakyat, pemerintah seharusnya tanpa pikir panjang mengambil kebijakan yang lebih mengutamakan keselamatan rakyatnya.

Awal munculnya isu virus ganas yang berasal dari Wuhan China itu, pemerintah dengan besar kepala melalui pejabat – pejabat negara memberikan statement seolah – olah Indonesia akan aman dan bebas dari virus corona. Pernyataan kontroversial pejabat tersebut terdokumentasikan dengan baik di berbagai media, yang tentu akan menarik bilamana rakyat melihat kembali kelakar dan lelucon para pejabat yang tentang virus corona tersebut, mengingat sekarang kondisinya berbanding terbalik.

Misalnya Menteri Perhubungan Budi Karya melontarkan guyonan, bahwa virus corona tidak masuk ke Indonesia, karena masyarakat suka mengkonsumsi nasi kucing sehingga menjadi kebal. Hal tersebut di sampaikan Budi Karya pada peringatan Hari Pendidikan Tinggi Teknik ke 74 di Grha Sabha Pramana, UGM, Februari 2020.

Entah para pejabat disclaimer dalam statementnya hanyalah sekedar guyonan, akan tetapi pada faktanya pemerintah telah gagal dalam memitigasi adanya suatu wabah virus yang masuk ke Indonesia.  

Dalam mengambil kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat, pemerintah kiranya masih kebingungan dalam memberlakukan karantina wilayah, sebab konsekuensi hukum daripada kebijakan ini diterapkan adalah sangat besar menyerap anggaran APBN. Anggaran pada karantina wilayah sudah diatur dalam Undang – Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa karantina kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan factor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. 

Dari segi anggaran, untuk menerapkan kebijakan karantina wilayah negara memang harus siap menanggung konsekuensi yang begitu besar, misalnya untuk karantina rumah sakit dan wilayah, kebutuhan dasar seperti kebutuhan makan yang berada di dalam zona karantina tersebut menjadi tanggung jawab penuh pemerintah (APBN).

Lebih rincinya keterangan terkait karantina wilayah di dalam pasal 55 ayat (1) yang berbunyi “selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat”.

 Melihat konsekuensi memenuhi kewajiban terhadap rakyatnya lebih besar ketika menerapkan karantina wilayah, akhirnya Presiden Joko Widodo pada bulan Maret 2020 meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam rangka percepatan penanganan covid 19. Pemerintah pada akhirnya tidak menerapkan kebijakan karantina wilayah akan tetapi lebih memilih kebijakan PSBB. Tanggung jawab pemerintah ketika menerapkan PSBB tidak sebesar karantina wilayah, sebab kebijakan PSBB tersebut tidak mencantumkan pemenuhan kebutuhan dasar, baik manusia maupun hewan ternak di zona karantina.

Dalam implementasi kebijakan PSBB di lapangan sesungguhnya tidak ada visi bersama yang terkoneksi antara pemerintah dan masyarakat, pemerintah berharap masyarakat mampu meminimalisir mobilitas dalam aktivitas maupun kerja dan disuruh berdiam diri di dalam rumah, akan tetapi dalam kebijakan PSBB tidak diatur kewajiban pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan dasar yaitu makan. Begitupun sama halnya dengan penerapan kebijakan PPKM Jawa – Bali.

Dalam kondisi serba berat dan penuh tantangan utamanya dalam aspek kesehatan dan perekonomian di situasi pandemi, seakan – akan pemerintah hanya bermain diksi saja dalam membatasi mobilitas masyarakatnya. Pemerintah harus mengevaluasi terkait langkah yang selama ini cenderung grusa – grusu dan senang bermain diksi dalam komunikasi publiknya bahkan kebijakannya. 

Kebijakan PSBB dan PPKM belum mampu menjadi solusi di tengah carut – marutnya kondisi akibat pandemi. Dengan dalih menginginkan masyarakat menerapkan pembatasan aktivitas sosialnya, kebijakan yang terkesan setengah – setengah tersebut mengakibatkan kegiatan ekonomi nyaris hampir terhenti total. Banyak penduduk yang kemudian kehilangan pekerjaannya akibat kebijakan PSBB ataupun PPKM.

Selain perusahaan atau pabrik terdapat pembatasan jumlah pekerja, aspek lain yang menyebabkan perusahaan memberhentikan karyawannya ialah karena permintaan atau konsumsi domestik mengalami penurunan yang signifikan. Dampaknya pendapatan masyarakat juga mengalami pengurangan. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode Agustus 2020, jumlah angka pengangguran meningkat hingga 2,7 juta orang. Dengan demikian jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur sebesar 9,77 juta. Peningkatan jumlah pengangguran tersebut juga mempengaruhi semakin besarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Data BPS pada September 2020 menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai angka 27,55 juta orang. 

Pada dasarnya kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat yakni PSBB ataupun PPKM dengan harapan mampu menekan rantai penyebaran virus corona justru memiliki impact yang begitu terasa dalam aspek perekonomian. Dengan banyaknya pengangguran, penurunan konsumsi domestik, dan menurunnya pendapatan masyarakat, hal itu mengakibatkan Indonesia jatuh ke jurang resesi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal III 2020 sebesar -3,49% (year on year/yoy). Dengan ini, Indonesia mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut – turut. 

Semakin melonjaknya angka terkonfirmasi positif covid 19 akhir – akhir ini akibat varian baru dan terpuruknya perekonomian nasional, tentu ini menjadi evaluasi yang besar akibat adanya kebijakan yang tidak memiliki konsekuensi yang jelas dalam implementasinya di lapangan. Pemerintah harus memiliki master plan dalam penanganan pandemi dan pasca pandemi dengan muatan kebijakan yang memiliki sanksi tegas dan jaminan pemenuhan kebutuhan fundament masyarakat berupa kebutuhan sehari – hari dan menstimulus perekonomian masyarakat menengah kebawah yang memang merasakan dampaknya. Sehingga masyarakat kecil yang terombang – ambing dalam kondisi daruarat menghadapi pandemi mampu bertahan dan rise up dari keterpurukan ini. 

Pelaksanaan PEN

Implementasi Anggaran PEN harus lebih optimal dan menyentuh masyarakat menengah kebawah. Pandemi Corona Virus Disaese (covid 19) tidak hanya berdampak terhadap kesehatan rakyat, akan tetapi berdampak pula terhadap memburuknya perekonomian nasional.

Pemerintah pada bulan Mei 2020 telah mengambil kebijakan dan strategi dalam upaya membangkitkan perekonomian nasional dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Payung hukum program PEN adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2020.

Program PEN ditujukan untuk membantu meingkatkan daya beli masyarakat serta memulihkan perekonomian nasional. Sasarannya adalah dari rumah tangga masyarakat yang paling rentan, dan ke sektor usaha (UMKM).

Adapun Program PEN dimaksud adalah : 

  • Menganggarkan belanja penanganan Covid 19 
  • Melakukan perlindungan sosial melalui Bansos kepada masyarakat berpenghasilan rendah 
  • Membantu Pemda dan Sektoral KL diantaranya program padat karya 
  • Subsidi bunga UMKM 
  • Pembiayaan korporasi. Terdapat Lembaga Penjaminan diantaranya PT SMI, PT PII, LPEI sebagai lembaga Special Mission Vehicle (SMV) Kementerian Keuangan
  • Insentif Usaha berupa pajak

Dalam perspektif ekonomi, belanja pemerintah adalah salah satu tools guna menstimulus bergeraknya perekonomian nasional. Dengan implementasi program PEN, maka akan memberikan dampak terhadap defisit APBN semakin membesar. Dua factor utama yang memicu tersebut, pertama, Covid 19 berdampak buruk pada berbagai sektor perekonomian sehingga kontraksi ekonomi tahun 2020 tidak dapat dihindarkan bahkan sampai menyebabkan pertumbuhan PDB minus.

Kedua, berkaitan dengan pendapatan negara, khususnya pendapatan perpajakan yang dipengaruhi oleh bergeraknya aktivitas perekonomian, diperkirakan juga akan mengalami kontraksi. Akan tetapi dengan adanya program PEN ini diharapkan belanja pemerintah dapat memitigasi kontraksi perekonomian yang lebih besar kedepannya. Hal tersebut dapat tercapai bilamana berbagai program PEN seperti belanja pemerintah, bantuan sosial, subsidi bunga UMKM, fokus pada sektor padat karya dan insentif pajak dapat terealisasikan dengan cepat dan tepat sasaran. 

Kebijakan PEN harus dikawal oleh semua elemen tidak terkecuali publik, transparansi realisasi dana PEN sekitar Rp695,2 trilliun harus benar – benar terserap sampai ke masyarakat. Dalam kondisi berat akibat pandemi ini integritas pejabat pemerintah menjadi salah satu kunci penyelesaian masalah.

Kasus penyalahgunaan dana bantuan sosial yang terjadi di Kementerian Sosial seperti kemarin harus benar – benar menjadi evaluasi besar, dimana rakyat sedang dalam kondisi yang berat akibat pandemi dan berharap pemerintah hadir dengan bantuan sosialnya akan tetapi justru oknum pejabat malakukan tindakakan korupsi yang membuat hati rakyat terluka. 

Proses penyaluran anggaran PEN harus memperhatikan data yang benar dan akurat terkait masyarakat yang benar – benar berhak menerima berbagai stimulus ekonomi dan bantuan sosial dalam paket sembako ataupun uang tunai. Pemerintah harus memprioritaskan masyarakat menengah kebawah dalam hal bantuan sosial ini yaitu para pengangguran, pekerja jalanan, pedagang kaki lima, pedagang kecil, buruh, petani, lansia dan keluarga yang taraf hidupnya masih rentan.

Selain itu dalam dunia usaha optimalisasi subsidi bunga terhadap UMKM juga sangat bermanfaat untuk mendorong laju perekonomian. Menurut BPS jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mencapai 64 juta. Angka tersebut mencapai 99,9 persen dari keseluruhan usaha yang beroperasi di Indonesia. Kontribusi UMKM sangat besar, sekitar 60,3% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia adalah berkat kontribusi UMKM.

Selain itu, UMKM juga menyerap 97% dari total tenaga kerja dan 99% dari total lapangan kerja. Maka dari itu subsidi bunga dan insentif pajak harus diprioritaskan terhadap 64 juta UMKM yang ada di dalam negeri. Melalui stimulus yang tepat sasaran maka akan mampu menggerakan dan mendongkrak perekonomian nasional.

Penyerapan anggaran PEN juga menjadi sorotan, serapan anggaran PEN masih belum terealisasikan dengan optimal sebab masih di bawah 30% per Agustus 2020. Maka dari itu percepatan penyerapan anggaran PEN harus segera terealisasikan dengan cepat dan tepat sasaran.

Sebagai subjek akuntabilitas publik pemerintah juga berkewajiban memastikan bahwa seluruh pengelolaan risiko terkait implementasi kebijakan tetap dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan kebijakan PEN harus dilakukan dengan prudent dan transparan agar masyarakat mampu merasakan dampak adanya program ini serta bagian daripada pemerintahan yang Good Governance

Selain itu, pemerintah harus merespons pandemi covid 19 ini sebagai fokusan utama dalam penanganannnya, sebab berkaitan dengan aspek keselamatan rakyat Indonesia. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan untuk semakin mendongkrak dan menunjang program PEN ini dengan mengalihkan berbagai pendanaan proyek – proyek infrastruktur untuk penanganan pandemi dibidang kesehatan dan perekonomian.

Pada intinya yang menjadi catatan paling penting adalah berbagai kebijakan pemerintah dalam mengelola dan menangani pandemi covid 19 ini harus didasarkan pada kepentingan hajat hidup rakyat Indonesia. Dalam mengambil kebijakan harus kuat dalam kajian ilmiahnya, akurat datanya, terukur konsekuensi, kuat analisis risikonya, dan yang paling penting mendengarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian kebijakan pemerintah akan membawa sebuah penyelesaian bukan justru membawa sebuah penderitaan.  (*)

Komentar