Harkitnas, NKRI dan Penegakan Hukum
Refleksi Prof Sam Abede Pareno
Bung Karno menginginkan ketiga golongan yaitu nasionalis, agamis, dan komunis bersatu padu mengisi kemerdekaan. Beliau tidak salah, karena ketiga golongan itulah realitas sosiologis politis rakyat Indonesia.
Ketiga golongan itulah yang dahulu berjuang menegakkan kemerdekaan. Namun tesisnya yang sejak muda diyakininya itu tak dapat dipahami dan diterima oleh sebagian umat Islam khususnya yang tergabung dalam partai Islam Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pimpinan Prawoto Mangkusasmito dengan menolak nasakom.
Alasannya, mana mungkin golongan agama yang percaya kepada Tuhan bersatu dengan golongan komunis yang anti Tuhan. Meski tidak terucapkan, ada juga kalangan nasionalis yang tidak sreg untuk bersatu dengan kaum komunis yang internasionalis radikalis.
Seorang muslim yang sholih ataupun seorang nasrani yang taat bisa menjadi nasionalis. Seorang penganut marxisme juga demikian, menjadi nasionalis karena terpanggil oleh cinta pada tanah air dan bangsanya. Bung Karno sangat memahami hal itu sehingga di tahun 1926 beliau menulis "Nasionalisme, Islamisme, Marxisme" yang kemudian di tahun 1960-an ditingkatkan dengan jargon nasional-agama-komunis disingkat nasakom yang terkenal itu.
Penolakan dan ketaksregan tersebut pada gilirannya mengakibatkan pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, sehingga bhinneka tunggal ika dan kebangkitan nasional yang menandai lahirnya Boedi Oetomo 1908 hanya jadi lips service dan cita-cita belaka.
Tak ayal, situasi tersebut diperparah oleh pemberontakan PRRI/Permesta dan G.30 S/PKI yang pada akhirnya membuat Bung Karno lengser secara tragis, dan nasakom yang terkenal itu hanya menjadi catatan sejarah kelam bangsa Indonesia.
Hari ini, kita memperingati Kebangkitan Nasional ke-113. Kebangkitan Nasional dikonkretkan oleh Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda diwujudkan oleh Proklamasi 17-8-1945.Bersyukurlah bangsa Indonesia yang memiliki kontinyuitas perjuangan. Oleh karena itu jangan sekali-sekali melupakan sejarah sebagaimana yang selalu diingatkan oleh Bung Karno dengan akronim "jasmerah".
Jasmerah tidak harus berseragam merah, suatu kegagalan simbolistik. Namun kita harus melaksanakan sejarah perjuangan dan cita-cita kebangkitan nasional yang terbengkelai, yaitu persatuan dan kesatuan yang kian lama kian jauh dari kenyataan, penegakan hukum yang tidak bersungguh-sungguh, dan korupsi yang makin dahsyat. (*)
Ketiga golongan itulah yang dahulu berjuang menegakkan kemerdekaan. Namun tesisnya yang sejak muda diyakininya itu tak dapat dipahami dan diterima oleh sebagian umat Islam khususnya yang tergabung dalam partai Islam Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pimpinan Prawoto Mangkusasmito dengan menolak nasakom.
Alasannya, mana mungkin golongan agama yang percaya kepada Tuhan bersatu dengan golongan komunis yang anti Tuhan. Meski tidak terucapkan, ada juga kalangan nasionalis yang tidak sreg untuk bersatu dengan kaum komunis yang internasionalis radikalis.
Seorang muslim yang sholih ataupun seorang nasrani yang taat bisa menjadi nasionalis. Seorang penganut marxisme juga demikian, menjadi nasionalis karena terpanggil oleh cinta pada tanah air dan bangsanya. Bung Karno sangat memahami hal itu sehingga di tahun 1926 beliau menulis "Nasionalisme, Islamisme, Marxisme" yang kemudian di tahun 1960-an ditingkatkan dengan jargon nasional-agama-komunis disingkat nasakom yang terkenal itu.
Penolakan dan ketaksregan tersebut pada gilirannya mengakibatkan pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, sehingga bhinneka tunggal ika dan kebangkitan nasional yang menandai lahirnya Boedi Oetomo 1908 hanya jadi lips service dan cita-cita belaka.
Tak ayal, situasi tersebut diperparah oleh pemberontakan PRRI/Permesta dan G.30 S/PKI yang pada akhirnya membuat Bung Karno lengser secara tragis, dan nasakom yang terkenal itu hanya menjadi catatan sejarah kelam bangsa Indonesia.
Hari ini, kita memperingati Kebangkitan Nasional ke-113. Kebangkitan Nasional dikonkretkan oleh Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda diwujudkan oleh Proklamasi 17-8-1945.Bersyukurlah bangsa Indonesia yang memiliki kontinyuitas perjuangan. Oleh karena itu jangan sekali-sekali melupakan sejarah sebagaimana yang selalu diingatkan oleh Bung Karno dengan akronim "jasmerah".
Jasmerah tidak harus berseragam merah, suatu kegagalan simbolistik. Namun kita harus melaksanakan sejarah perjuangan dan cita-cita kebangkitan nasional yang terbengkelai, yaitu persatuan dan kesatuan yang kian lama kian jauh dari kenyataan, penegakan hukum yang tidak bersungguh-sungguh, dan korupsi yang makin dahsyat. (*)