Diplomasi Sawit

kolom Lutfil Hakim

Kanalsatu - Pemerintah Orde Baru pernah membuat kebijakan tidak lazim pada 1996, yakni melakukan barter barang dengan pemerintah Thailand. Dua pesawat CN- 235 buatan IPTN ditukar 110.000 ton beras ketan. Barter dua jenis barang tidak sebanding itu sontak menjadi gunjingan sinis banyak pihak. Ratusan insinyur di IPTN dianggap sama nilainya dengan petani beras ketan di Thailand.

Padahal di balik kebijakan tersebut, Pemerintah Orba berpikir praktis. Jika dua unit pesawat CN- 235 buatan IPTN itu diperdagangkan secara konvensional, maka Indonesia akan mengantongi uang US$34 juta. Tapi akan dikenakan pajak. Sementara impor beras ketan (Thailand) – sebagaimana biasa dilakukan, juga membutuhkan Dolar AS dan kena pajak. Dengan pola barter, pemerintah tidak lagi direpotkan soal kurs dan pajak. Inilah diplomasi dagang.

Istilah barter, menurut banyak versi, adalah bentuk awal perdagangan tradisonal. Bahkan praktek barter telah ditemukan dalam sejarah peradaban manusia sejak 6000 SM. Namun pada perkembangannya, istilah barter tidak hanya menunjuk pada pertukaran barang dan jasa. Tapi juga pada praktek pertukaran kepentingan lainnya. Misal, barter sandera. Barter politik. Barter hutang dan konsesi. Bahkan ada juga barter ancaman.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte, pernah mengancam perang dagang kepada Indonesia – berupa special safe guard duty (SSG) atas produk olahan kopi dan crude palm oil (CPO) yang diekspor ke Filipina. Tapi pemerintah tidak tinggal diam. Strategi diplomasi terus dilancarkan. Ancaman Filipina akhirnya melunak setelah di-barter kebijakan pembebasan bea masuk ekspor pisang cavendish Filipina ke Indonesia.

Lantas bagaimana cara menghadapi ancaman Uni Eropa (UE) terhadap CPO Indonesia – khususnya untuk bahan baku biofuel atau biodiesel yang ditetapkan nol persen dari unsur minyak sawit – yang pemberlakuannya dijadwalkan mulai 2021. Ancaman UE ini sebagai putusan turunan dari hasil Resolusi Sawit oleh Parlemen UE. Padahal UE merupakan salah satu pasar CPO RI yang potensial. Periode Januari-September 2019 ekspor CPO ke UE mencapai 3,29 juta ton. Itu pun sudah menyusut 11,78% dari tahun sebelumnya.

Tidak mudah (memang) menghadapinya. Karena hampir mayoritas negara-negara yang tergabung di UE menghendaki segera diberlakukannya Resolusi Sawit. Terutama (yang paling ngotot) Norwegia. Dibutuhkan diplomasi yang bagus, serta seimbang dalam merespon ancaman UE. Karena negara – negara di kawasan Benua Biru itu lebih berpengalaman dalam strategi dagang. Bahkan keputusan luar negerinya sering dipakai sebagai contoh oleh negara lain. Disinilah pentingnya pemerintah segera menyelesaikan perundingan dengan UE, termasuk menuntaskan masalah CPO – agar keputusan UE itu tidak dicontoh oleh negara pembeli CPO lainnya.

Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu sudah mencoba melakukan lobi – lobi ke UE – tapi hasilnya belum juga kelihatan. Termasuk melobi empat negara anggota UE – yang dikenal sebagai Visegrad Four (V4) – yang memiliki hubungan erat dengan Indonesia, yakni Republik Chechnya, Hungaria, Polandia dan Slovakia. Tapi sejauh ini belum juga nampak hasilnya. Negara – negara V4 itu tergolong lunak terkait sanksi UE atas CPO RI.

Pemerintah juga pernah meminta bantuan Spanyol dalam urusan yang sama. Selain itu, pemerintah sudah berulangkali menawarklan kepada UE agar permasalahan sawit bisa dibahas pada forum perundingan Indonesia – European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) secara tuntas. Tapi respon positif dari pihak UE belum juga kelihatan.

Bahkan pada perundingan IEU CEPA putaran ke – 9 yang digelar di Brussel, Belgia pada 2-6 Desember 2019 lalu, ketua juru runding EU Helena Konig secara tegas mengatakan bahwa negara – negara yang tergabung di UE kini semakin fokus pada agenda 'hijau'. Di hadapan delegasi Indonesia yang dipimpin langsung oleh Wamendag Jerry Sambuaga, Helena Konig mengatakan bahwa pihak UE sangat memahami pentingnya CPO bagi perekonomian Indonesia. Namun Helena juga menegaskan bahwa Parlemen Eropa dan Kabinet UE kini sedang gencar – gencarnya membangun program ‘hijau’ dan agenda 'hijau', baik secara internal maupun eksternal.

Artinya statemen Helena Konig itu bisa dimaknai bahwa UE tetap bergeming terhadap perkara sawit Indonesia. Pada sambutannya, Wamendag Jerry Sambuaga sempat menyinggung soal upaya Indonesia membawa persoalan CPO ke WTO – yang di klaimnya sebagai bagian dari hak setiap negara dalam memanfaatkan skema perundingan internasional. Jerry menekankan bahwa posisi UE sangat penting bagi Indonesia, dan CEPA adalah forum terbaik untuk melanggengkan hubungan ekonomi kedua pihak, khususnya untuk akses pasar dan investasi. Namun Helena Konig lagi – lagi menjawab sambutan Jerry Sambuaga secara normatif.

Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia telah resmi mengajukan gugatan terhadap UE ke WTO, terkait kebijakan blok ekonomi atas produk kelapa sawit. Gugatan diajukan melalui Perutusan Tetap RI (PTRI) di Jenewa, Swiss pada 9 Desember 2019. Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation yang dikeluarkan UE.  Memang, gugatan melalui WTO bukan jalan terakhir. Pemerintah terus memutar otak untuk mencari cara terbaik. Agar ancaman UE atas CPO RI bisa dibatalkan.

Tapi di dalam negeri (Indonesia) sendiri – pemerintah juga pusing menghadapi ‘tekanan’ beberapa pihak yang meminta segera dituntaskannya persoalan sawit di perundingan IEU CEPA. Karena jika tidak tuntas, dikhawatirkan bisa mengganggu komunikasi bisnis komoditas lain non-sawit. Bahkan seorang pejabat secara jelas mengatakan, persoalan sawit jangan sampai jadi ‘sandera’ bagi lancarnya komunikasi bisnis non-sawit dengan UE. Tapi tidak sedikit pula pihak yang mendorong pemerintah untuk ‘melawan’ sikap diskriminasi UE atas sawit Indonesia, termasuk suara dari DPR RI.

Adanya dua arus dorongan yang berbeda di dalam negeri ini pun makin menyulitkan posisi pemerintah. Namun demikian gaung nasionalisme membela sawit Indonesia nampaknya lebih kuat ketimbang ‘kelompok non-sawit’. Presiden Jokowi sendiri bahkan sudah menunjukkan sikap terusiknya atas sanksi UE kepada sawit Indonesia. Sampai Presiden sempat melontarkan kalimat: “Jangan main- main sama CPO RI. Indonesia tidak akan tinggal diam menyikapi diskriminasi ini.”

Bagi ukuran orang Jawa, statemen Presiden itu tergolong keras. Sedangkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sudah meradang dan sempat memberikan sinyal ancaman keras kepada UE: “Kami ingatkan ya, Indonesia is the biggest buyer Airbus dan masih ada order 200 unit pesawat di sana,” kata Airlangga (yang juga Ketum Partai Golkar) – sesaat setelah mendampingi Presiden RI menerima kunjungan delegasi bisnis UE di Istana Kepresidenan, Jakarta (28/11/19).

Nada keras Menko Perekonomian itu terkesan menjadi semacam tawaran “barter boikot” atau “barter ancaman”. Bisa saja UE ‘keder’ atas ancaman itu, mengingat markas Airbus yang berbasis di Toulouse (Perancis) nota-bene bagian penting dari UE. Banyak pihak yang memuji statemen keras Airlangga. Namun ada juga pihak yang merespon negatif . Karena kalau ‘barter ancaman boikot’ itu ditanggapi serius oleh UE, ke depan komunikasi dagang kedua pihak berpotensi terganggu.

Tapi ada juga pihak yang secara gamblang justru mengancam pemerintah agar menghentikan perundingan IEU CEPA jika masalah sawit tidak clear. Disinilah urgensi pemerintah untuk merumuskan strategi diplomasi sawit secara ideal, agar solusinya bisa diterima semua pihak. Masih ada waktu sampai awal 2021 untuk menawarkan solusi yang seimbang kepada UE.

Memang sejauh ini (dalam beberapa tahun) perdagangan dengan UE mencatat surplus bagi Indonesia. Ekspor Indonesia ke UE pada 2018, misalnya, mencapai US$ 17,1 miliar. Sedangkan impor dari UE sebesar US$ 14,1 miliar, atau naik 8,29%. Namun sebagai mitra dagang, UE tergolong rewel dan ribet. Banyak persyaratan yang dilekatkan. Bahkan ada persyaratan yang tidak terkait langsung dengan bisnis itu sendiri.

Misalnya soal sistem peradilan, politik belanja negara, perlindungan usaha kecil menengah (UKM), hak kekayaan intelektual, hingga soal – soal usaha yang dilakoni BUMN. Sejauh ini, perundingan IEU CEPA putaran ke-9 sudah berhasil membahas soal-soal yang menjadi sebagian persyaratan, diantaranya soal instrumen pengamanan perdagangan, prosedur bea cukai & fasilitasi perdagangan, serta sanitasi dan fitosanitasi.

Sederet persyaratan itu ditinjau melalui tiga perspektif, yakni isyu teknis, kebijakan, dan perspektif politik. Tapi masalah sawit sama sekali tidak disinggung lebih jauh. Di sisi lain, Indonesia juga sudah menyelesaikan sejumlah persyaratan perdagangan dalam perspektif World Trade Organization (WTO) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) – sebagai upaya menunjukkan kepada UE bahwa Indonesia sudah clear untuk urusan persyaratan perdagangan internasional. Juga dalam perspektif General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan European Free Trade Association (EFTA).

Namun untuk urusan sawit, pihak UE nampaknya memang bebal dan bergeming. Tidak sedikit pun UE bergeser dari keputusan pleno yang mengacu kepada resolusi Sawit oleh Parlemen Eropa. Sehingga wajar jika Indonesia menuduh UE telah melanggar kesepakatan skema GATT dan WTO. Tapi pihak UE membantah dan secara tegas mengatakan keputusannya atas sawit Indonesia tidak melanggar skema GATT dan tidak ada hubungannya dengan WTO.

Mereka mengklaim keputusannya itu lebih sebagai sikap konsistensi UE terkait climate change. Baik bagi internal maupun eksternal. Dari situlah kenapa parlemen UE merevisi renewable energy directive (RED/RED I menjadi RED II) -- yang salah satunya menetapkan bahan baku biodiesel tidak mengandung (nol persen) CPO. Keputusan ini juga akan dijadikan dasar revisi UU Konsumen UE yang akan diberlakukan mulai awal 2021. UE menilai biodiesel konvensional tidak berkontribusi dalam menekan emisi gas rumah kaca, karena terkait masalah perubahan penggunaan lahan tidak langsung (indirect land use change/ILUC). Budidaya sawit untuk bahan dasar biodiesel dituduh oleh UE telah menggantikan fungsi hutan, dan ladang sawit terus meluas. Persoalan ini dianggap serius oleh UE, sehingga parlemen dan kabinet UE memutuskan nol persen CPO pada bahan baku biofuel.

Selain isyu deforestasi dan isyu lingkungan di atas, UE juga kerap mengkampanyekan bahwa mengkonsumsi minyak sawit sebagai prilaku idak sehat, karena mengandung kolesterol tinggi. Juga menuding penyelenggaraan kabun sawit telah menisbikan aspek kemanusiaan pada kontek perburuhan perempuan dan anak – anak. Juga dituding sebagai upaya pembakaran hutan yang berakibat pada penghilangan sejumlah spesies hewan hutan. Konstruksi Argumen Pada konteks deforestasi, konstitusi Indonesia sebenarnya telah mengatur melalui UU No.41 TH 1999 tentang Kehutanan, bahwa Indonesia konsisten mempertahankan luasan hutan minimal 30% dari total luas daratan – sesuai konvensi internasional.

Nah, sejauh ini luas hutan Indonesia masih di kisaran 68% dari luas daratan. Artinya areal penggunaan lain (APL/selain hutan) masih 32%, atau sekitar 61 juta ha dari total daratan 190 juta ha. Artinya secara konstritusi pemakaian untuk APL masih ‘’boleh’’ ditambah sekitar 38% lagi. Dari 32% lahan APL (61 juta ha) tersebut, diantaranya ada lahan sawit nasional yang hanya 14 juta ha. Artinya masih sangat jauh api dari panggang. Apalagi sebagian besar APL diperuntukkan bagi tanaman pangan. Artinya, dalam perspektif UU tentang Kehutanan, seharusnya tidak ada istilah deforestasi – karena hutan Indonesia masih sangat luas (di atas 30% dari daratan).

Persoalannya, UE dalam memaknai terminologi deforestasi menggunakan ukuran Food and Agriculture Organization (FAO - PBB) –, dimana setiap batang pohon yang ditebang dengan tinggi di atas 5 meter di areal minimal 0,5 ha, maka itulah deforetasi. Di sinilah persepsinya tidak sama. Padahal penetapan hutan minimal 30% sesuai UU No.41 TH 1999 sudah mengacu kepada kesepakatan dunia tentang climate change. Sehingga tuduhan budidaya sawit sebagai backbone deforestasi di Indonesia – sebagaimana dituduhkan UE, sama sekali tidak benar.

Harusnya UE bersikap fair melihat fakta ini. Begitu juga soal tuduhan miring lain, misal soal mempekerjakan anak di bawah umur. Nampaknya UE gagal memahami antara tindakan ilegal vs legal formal. Bahwa ada oknum yang mempekerjakan anak di bawah umur, mungkin saja terjadi. Tapi itu lebih kepada oknum. Prosentasenya kecil. Di mana pun selalu ada yang namanya oknum. Tapi secara legal formal Indonesia tegas melarang mempekerjakan anak di bawah umur. Bukan hanya di kebun sawit, tapi di semua sektor.

Bahkan ada dua Undang – undang yang mengaturnya. Seluruh buruh di perkebunan sudah terintegrasi datanya dengan Dinas Tenaga Kerja (daerah) setempat. Artinya bisa diketahui jika ada anak di bawah umur yang dipekerjakan. Secara legal formal, Pasal 68 UU No. 13 TH 2003 tentang Ketenagakerjaan tegas menyebutkan, bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak di bawah 18 tahun. Pelanggarnya bisa dikenai sanksi hukuman 4 tahun penjara. Selain itu, ada juga konstitusi yakni UU No.23 TH 2002 tentang Perlindungan Anak, yang secara tegas juga melarang anak dibawah umur untuk dipekerjakan. Perusahaan yang melanggar ketentuan ini bisa dikenakan sanksi hukuman 10 tahun penjara. Artinya sudah cukup jelas bahwa Indonesia anti mempekerjakan anak di bawah umur.

Bahkan ada dua Undang – undang yang mengaturnya. Sehingga argumen yang dibangun UE dalam mendiskriminasi sawit Indonesia sejati-dasarnya sangatlah sumir. Semua alasan terbantahkan. Banyak pihak mengatakan bahwa UE telah berbohong untuk menutupi kepentingan bisnisnya yang selama ini tertekan oleh hadirnya CPO RI di kawasan Eropa, yakni bisnis minyak nabati lainnya – seperti rapeseed oil dan minyak bunga matahari. Komoditas CPO dinilai telah mengambil porsi banyak pada segmen pasar minyak nabati di pasar UE. Padahal jika UE memahami sedikit saja hasil banyak penelitian, justru CPO untuk bahan ndustri membutuhkan rapeseed oil dan minyak bunga matahari sebagai komplemen-nya.

Artinya membanjirnya CPO ke pasar Eropa, terutama yang untuk bahan industri, justru bisa menumbuhkan pasar minyak nabati lainnya (rapeseed oil dan minyak bunga matahari). Hanya saja yang dijadikan alasan di depan oleh UE adalah palm oil sebagai bahan baku biodiesel, sehingga diputuskan nol persen (no palm oil) pada biofuel. Dan keputusan ini akan dimasukkan pada revisi UU Konsumen UE yang akan diberlakukan mulai 2021. Di sinilah letak perlakuan diskriminasi UE atas CPO Indonesia.

Namun demikian, pemerintah sebaiknya tetap berhati – hati dalam bernegosiasi dengan UE, mengingat posisi kawasan ini cukup strategis secara ekonomi bagi pasar ekspor Indonesia. Bukan hanya CPO, tapi juga komoditas lain. Strategi komunikasi sebaiknya tetap mengedepankan aspek diplomasi ketimbang ‘’barter ancaman’’ dalam bentuk aksi boikot barang produk UE. Sinyal ‘’ancaman’’ keras ke UE seperti disampaikan Menko Perekonomian – yang dikaitkan dengan pemesanan Airbus – sebaiknya tidak diulang. Sebab jika ancaman semacam itu ditanggapi serius oleh UE, justru berpotensi makin melebarkan jarak hubungan ekonomi Indonesia – Eropa. Bakal makin banyak kerugian ekonomi yang ditanggung Indonesia.

Memang, untuk gengsi bangsa, statemen Airlangga Hartarto itu cukup membanggakan. Rasa nasionalismenya tinggi. Tapi untuk kepentingan diplomasi dagang, sebaiknya dihindari pemilihan diksi (kata) yang mengarah kepada kesan ‘’menantang’’ dengan cara ‘’barter boikot’’. Bahkan jika perlu, tawarannya justru dibalik, yakni menukar sawit Indonesia dengan Airbus – sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Orba dengan Thailand pada 1996 – yakni menukar pesawat buatan IPTN dengan beras ketan. Konon industri penerbangan Indonesia butuh tambahan 1000 unit pesawat pada 2030.

Sementara potensi CPO Indonesia sangat besar. Sehingga klop jika dibarter. Jika UE tidak butuh CPO hasil barter dengan pesawat Airbus, kan bisa dijual lagi ke negara lain yang membutuhkan CPO. Prinsipnya aneka strategi diplomasi perlu terus dicoba untuk menaklukkan ancaman UE atas CPO Indonesia. Merendah tidak berarti kalah. Hampir tidak ada dalam teori diplomasi yang paling efektif – selain dengan cara dan sikap ‘’merendah’’.

Misalnya dalam konteks tuduhan deforestasi, bisa saja Indonesia merendah dan meminta bantuan kepada UE untuk bersama-sama mengawasi pelaku usaha sawit yang ‘’nakal’’. Artinya hanya kepada sawit milik pengusaha nakal saja yang boleh diboikot oleh UE. Kemudian, untuk sementara waktu, pastikan kepada UE bahwa luasan ladang kebun sawit tidak akan bertambah, dan bisa diawasi secara bersama-sama dengan UE. Artinya untuk sementara waktu tetap bertahan saja di luasan yang ada. Toh jumlahnya sudah cukup besar, yakni sekitar 14 juta ha dengan produksi pada 2019 (data Gapki) berpotensi menyentuh angka 53 juta ton .

Selain itu, perlu juga memberikan semacam insentif bagi produk ekspor UE ke Indonesia, sebagaimana pernah diberikan Indonesia kepada Filiphina , dengan ukuran yang seimbang. Juga melengkapi semua persyaratan yang menjadi kemauan UE pada konteks dagang melalui perundingan yang efektif via IEU CEPA. Strategi memperlakukan klien dengan baik sejatinya merupakan diplomasi yang ideal. Bukan dengan otot (boikot). Kita harus bertahan dengan kesabaran. Bagaimanapun UE tetap butuh CPO Indonesia. Baik untuk kepentingan bahan baku biofuel di masa depan – mengingat potensi minyak nabati pengganti bahan bakar biodiesl di UE juga akan ada batasnya.

Termasuk kebutuhan UE atas CPO untuk kepentingan bahan baku industri (makanan, kosmetik, obat-obatan, dll). Selai itu, perlu juga menjadi pertimbangan, bahwa ke depan kondisi ekonomi UE masih nampak berat akibat hegemoni AS dan China pada eko-sistem perekonomian dunia, dan ini bisa menjadi momentum baik bagi Indonesia untuk terus memperkuat posisi tawar di UE.

Menuntaskan ganjalan komunikasi bisnis dengan UE adalah keniscayaan. Harus segera diselesaikan. Karena banyak keputusan UE yang sering menjadi benchmarking bagi negara lain, apalagi untuk masalah sawit. Meski UE bukanlah satu-satunya pembeli CPO RI, tapi negara lain bisa mencontoh cara yang sama untuk menekan Indonesia. Kabarnya beberapa negara pembeli besar sawit Indonesia seperti AS, India, Pakistan, jepang, dan lainnya - sudah mulai coba-coba ikutan mempertanyakan soal isyu lingkungan terkait persawitan nasional.

Pemerintah harus ekstra kerja keras mencari solusi permasalahan sawit Indonesia. Mengingat komoditas ini (CPO) memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional. Secara makro, CPO merupakan penyumbang devisa terbesar. Sejak 10 tahun terakhir nilai ekspornya terus naik. Pada 2010 nilai ekspor CPO mencapai US$16,3 miliar dan pada 2018 mencapai US$ 17,89 miliar. Bahkan pernah mencapai US$21,6 miliar pada 2011. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, industri CPO Indonesia mempekerjakan sekitar 6 juta naker. Belum termasuk tenaga kerja di sektor hilir distribusi dan industri olahan berbahan CPO. Juga naker di sektor hulu yakni di industri alat berat dan alat perlengkapan lain kebun sawit, serta mesin industri CPO.

Artinya keberadaan industri CPO juga membantu mengangkat daya beli masyarakat. Perputaran uang di sektor ini juga tinggi, sehingga juga membantu sektor perbankan nasional. Sawit Indonesia juga menjadi salah satu backbond kedaulatan energi nasional. Sejauh ini kebutuhan BBM solar untuk transportasi dan mesin pabrik lebih mengandalkan impor minyak berbasis fosil yang memakan banyak devisa. Pemerintah sudah berupaya melakukan subtitusi (renewable energy) dengan memanfaatkan CPO sebagai campuran solar dengan istilah mandatori B-20, artinya ada unsur CPO sebesar 20% pada setiap solar yang diperjual-belikan. Kemudian dinaikkan menjadi 30% (B-30) pada 2020. Pada mandatori pemerintah untuk renewable CPO sudah ditetapkan 6,4 juta ton pada 2015 dan sebesar 15,2 juta ton pada 2020.

Kalau renewable policy itu berjalan sesuai skema, seharusya ada efisiensi devisa sebesar US$5,6 miliar sejak 2015 dan menjadi US$16,7 miliar pada 2020. Mandatori ini perlu terus dikembangkan hingga ke angka paling maksimal agar efisiensi devisa bisa terus ditingkatkan. Selain itu, produk out put CPO juga menjadi lokomotif industri nasional sebagai bahan baku industri obat-obatan, makanan, kosmetik, dll hingga pengolahan biomassa limbah sawit menjadi produk – produk bernilai tambah. Maka itu perlu terus dikembangkan teknologi penelitian untuk hilirisasi produk sawit dan pengembangan industrinya di dalam negeri, sehingga nantinya yang diekspor itu bukan CPO , tapi industri berbahan CPO.

Jika pemerintah bisa memaksimalkan total produksi sawit nasional yang mencapai 50 juta ton lebih per tahun sebagai bahan renewable energy dan pengembangan industri, maka ekonomi nasional akan lebih kuat – karena importasi solar akan terus berkurang dan ekspor hasil industri berbahan CPO terus naik. Sehingga CPO Indonesia tidak lagi menghadapi sanksi diskrimninasi seperti dilakukan UE saat ini, karena seluruh hasil CPO berubah wajah menjadi komoditas turunan yang bernilai ekonomi tinggi. Tidak ada kata mustahil jika semua pihak bersungguh – sungguh. Bismillah. (LH) *

*) Tulisan ini diambil dari kolom Lutfil Hakim di majalah Magz, majalah internal milik ptpnx.

Komentar