M e r d e k a
Oleh Darmawan Puteratama (Formatur/Ketum Badko HMI Jatim)
Bila ditanya apa arti kemerdekaan, jawaban normatif semacam “mengenang jasa pahlawan” menjadi favorit publik. “Semangat perjuangan para pahlawan melawan penjajahan, harus ditiru oleh generasi penerus,” kalimat ini juga barangkali akan jadi pelengkap dari pernyataan sebelumnya.
Sebenarnya tidak ada masalah menjawab dengan pernyataan begitu. Lagipula, pidato pada seremonial memperingati hari kemerdekaan ini juga hampir setiap tahun mengandung jawaban semacam itu. Persoalannya, adalah apakah aktivitas mengenang jasa pahlawan ini benar-benar dihayati lahir batin oleh masyarakat Indonesia?
Kita mengenal istilah guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mengenang sejarah perjuangan merebut kemerdekaan, berapa banyak guru telah mencetak tokoh-tokoh pendiri bangsa. Satu nama saja, H.O.S Cokroaminoto. Beliau adalah sang guru bagi Soekarno, Soemaoen dan Kartosoewirjo, yang diketahui mengambil peran penting pada perjuangan meraih kemerdekaan.
Sayangnya dalam konteks kekinian, istilah pahlawan tanpa tanda jasa semakin kabur. Guru tidak lagi dianggap pahlawan. Berita-berita di media cetak maupun elektronik mengungkap berbagai permasalahan seputar guru dan murid. Terakhir, kasus pemukulan guru oleh murid dan orang tuanya di Makassar. Mempertegas jarak antara kedudukan guru dengan pahlawan.
Tidak hanya citra guru di masyarakat. Sikap pemerintah yang lamban dalam mengatasi persoalan guru di daerah pelosok, mendegradasi status guru sebagai aktor penting dalam perubahan. Pemerintah terkesan abai terhadap ketimpangan jumlah guru antara desa dan kota.
Data terakhir yang saya dapatkan, pada tahun 2013 hampir 80 persen guru di Indonesia mengajar di kota. Sisanya, 20 persen berada di desa. Angka tersebut cukup mencengangkan, melihat pembangunan di desa cukup gencar dikampanyekan pada setiap Pilkada di berbagai daerah.
Untuk mengatasi ini, pemerintah pusat pernah memberikan kelonggaran bagi pemerintah daerah untuk melakukan rekruitmen guru honorer. Sayangnya, hal ini bukannya menyelesaikan masalah, malah menimbulkan persoalan baru. Ledakan jumlah guru honorer yang dalam 15 tahun terakhir mencapai 850 persen, tidak dibarengi dengan kesejahteraan. Upah bulanan mereka, jauh di bawah standar kelayakan. Hal ini bertahan hingga sekarang.
Realitas seperti di atas, kemudian diperparah lagi dengan wacana penerapan Full Day School oleh Mendikbud Muhadjir Effendi. Ini membuat Mendikbud yang baru dilantik 27 Juli 2016 lalu itu terkesan lupa, bahwa masalah guru di pedalaman masih belum tuntas. Bila seandainya Full Day School jadi diterapkan, dengan segudang masalah kekurangan guru di pelosok daerah, ide dengan kesan terburu-buru tersebut justru akan menambah beban guru dalam mengemban kewajiban mereka.
Merawat Kepahlawanan Guru
Ihwal kemerdekaan di Indonesia belum selesai. Saya berpendapat bahwa masalah kebodohan adalah sumber dari berbagai keterpurukan di Indonesia, mulai kemiskinan, kriminal, hingga masalah moral yang menjadi utama generasi muda.
Keadaan ini semestinya bisa diselesaikan dengan keberadaan guru. Guru adalah aktor penting dalam perjuangan melawan kebodohan. Guru adalah pahlawan untuk membawa Indonesia sesuai dengan janji UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila masih terus terbelenggu oleh kebodohan, peringatan hari kemerdekaan Indonesia untuk ke-71 kali ini masih belum bisa dinyatakan tuntas.
Sayangnya, martabat guru sebagai pahlawan telah dipangkas oleh berbagai realita yang sudah terjadi di tanah air. Untuk itu, sudah waktunya martabat guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dikembalikan. Media, pemerintah, masyarakat, serta guru itu sendiri, harus mampu merawat nilai-nilai kepahlawanan pada profesi guru.
Nilai kepahlawanan pada guru ini merujuk definisi pahlawan menurut Andrew Bernstein. Bernstein mendefinisikan pahlawan sebagai individu yang diangkat atau didukung oleh nilai - nilai moral yang tinggi dan kemampuan superior, dalam mencapai tujuannya berhadapan dengan musuh yang sangat kuat.
Saya mengejawantahkan pengertian pahlawan ini, kepada serentet nilai kepahlawanan, yakni keberanian, kecerdasan, serta pantang menyerah. Nilai kepahlawanan seperti inilah yang harus kita rawat.
Pertama, merawat keberanian. Diperlukan reorientasi terhadap guru dan calon guru dalam hal mendidik. Dari beberapa kasus yang pernah saya temui, kebanyakan calon guru menolak untuk ditempatkan di pelosok-pelosok daerah karena dianggap jauh dari “peradaban”. Dalam konteks ini, pemerataan pembangunan menjadi penting. Pemerintah harus berperan aktif mengurangi kekhawatiran para calon guru untuk tinggal di pedalaman dengan menyediakan layanan yang menunjang para guru hidup di pedesaan.
Kedua, merawat nilai kecerdasan. Hal ini bisa direalisasikan melalui gerakan literasi guru. Pemerintah bisa mendorong minat baca dan menulis bagi para guru di pelosok daerah. Sehingga, mereka mampu memperluas wawasan dan memicu kreatifitas dalam melaksanakan pengajaran kepada anak didiknya, sekaligus menyeimbangi kemajuan teknologi informasi.
Ketiga, merawat daya juang guru. Artinya, pemerintah dan sekolah harus bisa menjamin kesejahteraan guru di pedalaman. Ini berkaitan dengan motivasi guru dalam mengajar. Apresiasi dibutuhkan untuk terus memicu semangat guru dalam menjalankan tugas mereka sebagai pahlawan pencerdas anak bangsa. Sebab, kasus-kasus kesejahteraan guru juga yang selama ini mengurangi minat anak muda untuk memilih profesi guru.
Usaha Merdeka Seutuhnya
Indonesia bagaikan “raksasa tidur”. Begitulah ungkapan M. Alfan Alfian memaknai hari kemerdekaan enam tahun silam. Negara ini punya sumber daya alam melimpah, wilayah yang sangat luas, keanekaragaman yang mengagumkan, jumlah penduduk yang besar, serta segenap potensi lain. Sayangnya, saat ini Indonesia belum biisa memanfaatkan “keraksasaannya” itu. Makanya, Indonesia disebut Alfian sebagai raksasa tidur.
Akan tetapi, usia 71 tahun harusnya sudah menjadi alarm bagi bangsa ini untuk bangun dari tidur panjangnya. Kejayaan yang sebenarnya sudah kita sadari sejak dulu, harus sesegera mungkin diolah agar bangsa ini tidak terlena pada mimpi-mimpi manis dalam tidurnya.
Momentum hari kemerdekaan tahun ini merupakan waktu yang tepat untuk “membangunkan” Indonesia dari tidur panjangnya. Indonesia harus mulai bangkit dari keterpurukan. Pemerintah harus segera memperiapkan segala keperluan agar bangsa ini mampu menatap masa depan dan bersaing secara global.
Merawat kepahlawanan guru, adalah jalan utama meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di tanah air. Karena dengan merawat kepahlawanan guru-guru di Indonesia, maka kita telah merawat Indonesia. Begitulah lorong jalan dalam usaha menuju kemerdekaan Indonesia seutuhnya. M e r d e k a . (*)