Tindak lanjut kesepakatan global perubahan iklim COP21 Paris
oleh: Rachmat Witoelar
Pada bulan Desember 2015 lalu, Presiden Jokowi menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim dunia yang biasa disebut UNFCCC COP21 Paris dan mengumumkan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan hingga 41% dengan bantuan dan kerjasama internasional. Komitmen tersebut diukur dari proyeksi Business as Usual (BAU).
COP21 di Paris mengadopsi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata tidak mencapai 2oC di atas suhu sebelum masa Revolusi Industri dan mengupayakan lebih lanjut hingga tidak lebih dari 1,5oC. Kesepakatan Paris juga merupakan basis legal implementasi sehingga pengendalian perubahan iklim di tingkat internasional menjadi universal dan harus dilaksanakan oleh serta mengikat secara legal semua Negara Pihak.
Selain itu, COP21 di Paris juga menekankan pentingnya peran semua pemangku kepentingan untuk menjamin tercapainya tujuan mulia tersebut. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengajak peran serta non state actors, yaitu pemerintah daerah, pelaku bisnis, Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi dan peneliti, semaksimal mungkin.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, perlu menindaklanjuti Kesepakatan Paris tersebut dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Tindak lanjut yang dimaksud dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok utama, yaitu 1) aspek legal, 2) aksi mitigasi, 3) aksi adaptasi, 4) dukungan aksi terhadap upaya implementasi, 5) pelaporan dan transparansi, 6) peran non state actors dan 7) lobi global. Secara umum ketujuh kelompok tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Aspek Legal
Dalam aspek legal, berikut adalah beberapa aksi yang perlu dilakukan:
Indonesia perlu menandatangani Kesepakatan Paris pada tanggal 22 April 2016 di New York.
Sebagai dukungan terhadap Kesepakatan Paris, maka proses ratifikasi perlu dilakukan sebagai payung pengembangan peraturan lainnya.
Pengembangan Undang-Undang Pengendalian Perubahan Iklim sebagai dasar hukum untuk memastikan keberlanjutan implementasi pengendalian perubahan iklim jangka panjang di Indonesia.
2. Aksi Mitigasi
Untuk kelancaran pelaksanaan aksi mitigasi, maka perlu dilakukan penyesuaian atau pengembangan berbagai kebijakan dan peraturan yang berdasarkan kajian berbasis sains, diantaranya:
Kajian dan analisis untuk penetapan baku mutu emisi GRK untuk semua sektor, dan dimulai dari sektor yang telah memiliki basis data historis emisi seperti sektor migas dan industri.
Kajian dan analisis mengenai pencapaian target penurunan emisi sebesar 26/41 pada tahun 2020 sehingga dapat menjadi basis yang kuat dalam implementasi penurunan emisi sebesar 29/41 paska 2020 hingga 2030 nanti.
Kajian dan analisis mengenai target yang disampaikan Indonesia untuk tahun 2025.
Kajian dan analisis mengenai target 2025 dan 2030 untuk mendapatkan kesepakatan bersama di tingkat domestik termasuk dari berbagai sektor dan pemangku kepentingan.
Kajian dan analisis potensi aksi mitigasi yang dapat dilakukan bersama (cooperative approaches), baik antara pemangku kepentingan di tingkat domestik maupun potensi di tingkat regional (seperti ASEAN, Asia-Pasifik) dan internasional.
Mendorong dan memastikan berlanjutnya berbagai kegiatan Clean Development Mechanism (CDM) yang telah berlangsung di Indonesia.
Kajian dan analisis untuk membangun sistem dan mekanisme fleksibilitas dalam pelaksanaan mitigasi di dalam negeri termasuk mekanisme perdagangan karbon maupun performance based payment yang berdasarkan pada sistem cap-and-trade dan juga sistem baseline-and-credit.
Kajian dan analisis untuk mempersiapkan peran Indonesia dalam mekanisme fleksibilitas di tingkat global selain di bawah Protokol Kyoto.
3. Aksi Adaptasi dan juga Loss and Damage
Pemerintah perlu melakukan penyesuaian atau pengembangan berbagai kebijakan dan peraturan perundangan melalui berbagai kajian, analisis, dan penyusunan basis data, antara lain:
Kajian dan pembuatan basis data mengenai kerentanan di seluruh wilayah Indonesia dan di semua sektor ekonomi dan sosial serta budaya.
Kajian dan pembuatan basis data mengenai kelembaman (resilience) di seluruh Indonesia dan di semua sektor ekonomi, sosial, dan budaya.
Kajian dan analisis serta pembuatan basis data mengenai berbagai dampak yang telah terjadi, baik dampak yang terjadi dalam waktu pendek dan mendadak maupun yang terjadi dalam waktu panjang dan perlahan; serta berdasarkan tingkat kejadian (frekuensi dan magnitude).
Kajian dan analisis serta identifikasi dan pembuatan basis data berbagai aksi adaptasi yang perlu dilaksanakan di Indonesia. Hal ini akan membantu Indonesia mengakses dana yang tersedia, seperti Adaptation Fund (AF), Green Climate Fund (GCF) maupun jenis pendanaan lainnya dari berbagai entitas yang ada.
Kajian dan analisis serta pembuatan basis data berbagai pendekatan, teknologi, dan kearifan tradisional untuk mengatasi dampak.
Kajian dan analisis mengenai berbagai mekanisme asuransi, mekanisme fiskal dan pendanaan lainnya untuk membantu mengatasi dampak.
Kajian dan analisis potensi kerjasama tingkat domestik, regional, dan internasional;
4. Dukungan Aksi terhadap Upaya Implementasi (means of implementation)
Kegiatan ini merupakan “enabling environment” yang akan membantu terlaksananya aksi di tingkat pusat dan subnasional. Untuk itu diperlukan dukungan kajian dan penguatan institusional sebagai berikut::
Penguatan dan operasionalisasi National Designated Authority (NDA) dari GCF sehingga Indonesia dapat mengakses dana GCF secara efektif termasuk melalui keberadaan National Impementing Entity (NIE) yang harus segera diwujudkan.
Kajian dan analisis mengenai nilai karbon (bukan harga karbon) untuk mendukung penerapan polluters pay principle yang efektif.
Kajian dan analisis mengenai kebutuhan pendanaan untuk implementasi aksi mitigasi dan adaptasi serta identifikasi peluang sumber pendanaan, baik domestik (APBN dan non-APBN lain) maupun kerjasama internasional.
Kajian dan analisis serta pembuatan basis data mengenai penguasaan teknologi yang telah ada (termasuk teknologi berbasis tradisional) serta kebutuhan teknologi untuk mendukung implementasi aksi mitigasi dan adaptasi.
Kajian dan analisis mengenai peluang kerjasama riset dan pengembangan teknologi, baik di tingkat domestik, regional maupun internasional, selain peluang kerjasama penguasaan teknologi dari pihak lain.
Kajian dan analisis serta pembuatan basis data berbagai kegiatan penguatan kapasitas (know-how) yang telah dilakukan di Indonesia sebagai bagian dari mekanisme pelaporan.
Kajian, analisis, identifikasi dan pembuatan basis data berbagai know-how yang dimiliki oleh berbagai pemangku kepentingan di Indonesia, terutama yang berdasarkan kearifan lokal dan tradisional sehingga dapat menjadi tawaran bagi Indonesia untuk menjadi provider know-how bagi South-South/trilateral cooperation
5. Pelaporan dan Transparansi
Indonesia sebagai negara berkembang diharapkan dapat menyampaikan laporan komitmen penurunan emisi atau upaya peningkatan kapasitas yang sudah dilakukan. Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan untuk mendukung pelaporan dan transparansi:
Kajian dan analisis berbagai metodologi pengukuran, penghitungan dan inventarisasi emisi GRK sejalan dengan kondisi sektor yang bersangkutan dan sejalan dengan proses yang berjalan di tingkat internasional.
Penentuan dan penetapan metodologi yang dapat digunakan oleh pihak terkait di Indonesia berdasarkan kajian dan analisis yang telah dilakukan.
Penentuan dan penetapan mekanisme dan prosedur pelaporan serta pemantauan yang harus dilakukan oleh masing-masing pelaku, baik pelaku di sisi pemerintah, pemerintah daerah, pelaku bisnis maupun pemangku kepentingan lainnya.
Kajian dan analisis mengenai berbagai lembaga independen yang dapat berperan sebagai lembaga verifikasi yang dilanjutkan dengan dorongan dan dukungan untuk melakukan pendaftaran dan akreditasi di tingkat internasional.
6. Peran Non State Actors
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan peran serta non state actors dalam aksi perubahan iklim:
Pelaku bisnis memiliki peran yang besar bukan hanya dalam pelaksanaan aksi tetapi terutama dalam investasi baik secara langsung melalui investasi bisnis rendah emisi ataupun melalui penyaluran dana corporate social responsibility (CSR).
Pemerintah Daerah. Berbagai program yang dibuat di tingkat nasional akan dilaksanakan di tingkat subnasional dan lokal sejalan dengan programpembangunan daerah. Hal ini perlu diatur dalam perundangan yang berlaku.
LSM dan lembaga non pemerintah lainnya. LSM diharapkan memberikan pendampingan kepada masyarakat untuk upaya aksi di tingkat tapak, antara lain: penyediaan energi terbarukan berskala mikro, pengembangan mekanisme pendanaan yang inovatif, hingga upaya penanganan bencana dampak perubahan iklim.
Akademisi, pakar dan peneliti. Peran akademisi, pakar dan peneliti menjadi kunci dalam mendukung pengembangan basis data, pengembangan model dan skenario yang berdasarkan basis ilmiah.
7. Lobi Global dan Promosi Aksi Indonesia di Tingkat Internasional
Adopsi Kesepakatan Paris dalam COP21 bukanlah akhir dari proses global dan tantangan di perundingan selanjutnya tidaklah lebih ringan. Hal ini disebabkan karena perundingan paska Paris akan terfokus pada detil aturan, prosedur, mekanisme dan modalitas untuk memastikan implementasi yang efektif. Bersamaan dengan itu, peran dan partisipasi aktif Indonesia dalam berbagai perundingan internasional di bidang ini sangat diharapkan oleh berbagai pihak. Untuk itu penyiapan dan penetapan posisi dasar Indonesia yang mengedepankan kepentingan nasional dapat dilakukan dengan penguatan delegasi RI. Selain proses perundingan dan lobi, Indonesia perlu pula melakukan promosi kepada dunia internasional mengenai berbagai upaya yang telah maupun yang akan dilakukan terkait dengan penanganan dan pengendalian perubahan iklim.(setkab.go.id)