Analisis Politik: Terseok dan Rapuh
Oleh Hadi Praseto, pengamat sosial - politik
kanalsatu - Diasumsikan bahwa Prabowo-Gibran secara resmi tetap menang sebagai Presiden dan Wakil Presiden, lalu membentuk pemerintahan koalisi baru, maka yang menjadi sangat menarik untuk dianalisis adalah apakah koalisi gemuk yang akan terbentuk bisa solid dan stabil seperti masa Jokowi-Ma'ruf Amin periode 2019- Agustus 2023?
Dikatakan sampai dengan Agustus 2023 karena sejak Sept 2023 gugatan batas usia minimal capres/ cawapres mulai mencuat dan pemerintahan koalisi Indonesia Maju Jokowi mulai nampak goyah hingga pasca pemilu 14 Pebruari 2024saat ini. Apalagi disisa waktu presidensi Jokowi sampai 20 Oktober 2024, makin goyah ditengah derasnya arus delegitimasi hasil pilpres dan tuntutan pemakzulan presiden. Entah apa yang akan terjadi sebelum 20 okt 2024 nanti.
Pembentukan Kabinet Indonesia Maju Prabowo-Gibran menuju Okt 2024, , nampaknya akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang signifikan dibandingkan dengan proses pembentukan Kabinet Indonesia Maju Jokowi pada Okt 2019.
Kala itu pembentukan Kabinet Jokowi-KH Ma'ruf Amin awal 2019 yang menang pilpres dengan angka 55,5% berhasil merangkul Prabowo rival kontestasinya sekaligus gerbong Gerindra dan PAN. Partai Demokrat dan PKS yang berjumlah 104 kursi (18% jumlah kursi DPR RI yang 575 kursi) berada di luar pemerintahan. Strategi Presiden Jokowi mampu menstabilkan penyelenggaraan pemerintahan dengan pendekatan konsolidasi mayoritas.
Strategi ini dilakukan karena pengalaman tersendatnya pemerintahan di awal presidensi Jokowi 2014. Seperti diketahui pada periode 2014-2019 koalisi Indonesia Hebat saat itu hanya didukung 37,14% kursi DPR RI ( PDIP. Nasdem, PKB dan Hanura). Baru kemudian pasca pilpres 2014, Koalisi Indonesia Hebat mendapat dukungan baru (pindahan dari Koalisi Merah Putihnya Prabowo-Hatta Rajasa) yakni Partai PPP pada Okt 2014, partai PAN pada Sept 2015 dan Golkar pada Jan 2016 sehingga capai mayoritas dukungan parlemen 68,93%. Sejak tahun 2016 koalisi Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kala sangat solid.
Merujuk analisis intelijen J.H Wenas, pada pra pilpres 2024, sebetulnya Jokowi ingin mereplikasi strategi konsolidasi total ala awal 2019 dengan mengawinkan PDIP-Gerindra, namun apa lacur ditolak PDIP karena PDIP sebagai partai pemenang pemilu 2019 tetap ingin maju sendiri dengan posisi capres, demikian pula Prabowo dengan dukungan Gerindra sebagai pemenang pemilu 2019 ke-3 juga maju capres sendiri.
Bergabungnya Golkar dan PAN dalam kubu Prabowo (mungkin karena arahan Jokowi sebagai semacam bentuk ‘perlawanan’ Jokowi terhadap Megawati) membuat PKB tidak nyaman dan tidak menguntungkan partainya dalam hitungan negosiasi politik kekuasaan. Maka Muhaimin Iskandarpun hengkang cari posisi yang terhormat dengan menjadi cawapres Anis yang didukung Nasdem dan PKS.
Cawe-cawe Jokowi pra pilpres 2024 (mungkin sudah mulai secara bertahap dikondisikan sejak 2 tahun sebelumnya) nampaknya karena gagasan-gagasan besarnya seperti IKN, hilirisasi beberapa sumberdaya tambang strategis, serta peningkatan alutista secara signifikan, yang mulai berjalan, terikat dalam ‘semacam perjanjian bisnis jangka menengah-panjang’ dengan berbagai jaringan investor global (baca sindikasi oligarkhi) yang tidak bisa ditinggal ‘prung’ tanpa jaminan kelanjutannya.
Disinilah kemungkinan ada peran sentral LBP dan Prabowo. Maka Jokowi terpaksa harus menjadi sutradara dan king maker dalam suksesi kepemimpinan pilpres 2024, yang oleh para pengamat dan analis politik, Jokowi secara sadar telah masuk dalam permainan kekuasaan dengan resiko jebakan batman.
Jebakan batman makin nyata ketika Jokowi terpaksa mensiasati masuknya Gibran sebagai cawapres melalui ‘drama MK’ sang paman, sebagai komitmen dan jaminan dukungan langsung Jokowi atas keterlibatannya dalam pelaksanaan gagasan-gagasan strategis tersebut, yang tentu melibatkan mega investasi dan hutang milyaran dollar yang tidak boleh gagal.
Jokowi sangat sadar akan resiko hujatan ‘politik dinasti’, tapi apa lacur! Ditambah lagi keharusan “menang” mungkin menyebabkan berbagai drama seperti ‘intimidasi, money politik, bansos, BLT, serta kooptasi institusional dari A sampai Z. Resiko dituduh curang, tidak etis dan melanggar moral terpaksa harus dihadapi, Tetapi ‘the show must go on’.
Dan…..pilpres pun terlaksana sesuai dengan rencana, walau masih harus menghadapi gugatan serta tuntutan mundur dan pemakzulan via Hak Angket DPR maupun demonstrasi massa yang akan terus bergulir entah sampai kapan.
Kalaupun Presiden Jokowi bisa bertahan sampai akhir masa jabatan, maka sejak 20 Okt 2024 kekuasaan presiden beralih ke Prabowo secara penuh. Jokowi akan ada ‘diluar’ sistem walau masih bisa menggunakan anaknya Gibran sebagai instrument politik kekuasaannya. Tetapi apakah control kekuasaan masih se efektif sebelumnya? Itu yang menjadi pertanyaan besar.
LBP dan tim akan terus mengurusi IKN dan hilirisasi, sementara Prabowo akan mengurusi alutista. Perkembangan waktu dan geopolitik internasional maupun dalam negeri akan menyebabkan situasi politik bisa dinamis. Apalagi bila Gibran juga dipersiapkan menjadi suksesor berikutnya. Pendukung Prabowo pasti akan membangun rivalitas. Juga partai-partai besar pendukung tentu juga introspeksi terhadap peran kunci mereka selama ini. Tidak ada satu partaipun yang mau jadi follower sepanjang masa. Kalau ada peluang menjadi yang paling, kenapa tidak?.
Dari sisi eksternal, keberadaan PDIP, Nasdem, PPP, PKB dan PKS yang juga mayoritas parlemen akan melakukan controlling dalam rangka balancing kekuasaan secara ketat. Tidak mudah dan leluasa bagi Prabowo menjalankan peran presidensinya.
PDIP dan PKS jelas akan konsisten bertahan diluar, tetapi Nasdem, PKB dan PPP seandainya akan beralih masuk koalisi gemuk Prabowo, juga belum tentu menguntungkan.
Hidup dalam koalisi (politik) gemuk, maka partai-partai anggotanya tentu akan bermain peran politik secara dinamis. Disatu sisi membangun kerjasama harmoni, disisi lain akan berselancar sendiri-sendiri untuk mempersiapkan diri secara rahasia merebut elektoral sebanyak-banyaknya pada pemilu 2029. Kalau perlu sikut kiri sikut kanan. Tulus seperti merpati tidak ada dalam kamus politik partai. Yang ada adalah ibarat cerdik seperti kancil.
Pemerintahan koalisi gemuk yang lahir dari preseden proses suksesi yang penuh konflik dan delegitimasi masyarakat umum, serta penuh dendam atas dugaan kecurangan dan pelanggaran etika, akan sangat mungkin menyebabkan koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran terseok-seok dan rapuh.
Sulit memperkirakan apakah pemerintahan koalisi ini akan mampu menorehkan kinerja pembangunan yang memadai dalam memacu kemajuan, kemakmuran dan keadilan menuju Indonesia Emas 2045? Sulit juga memperkirakan apakah middle class economy mampu berkembang dan bersaing dengan ekonomi global, atau justru masuk dalam middle income trap dan tetap menjadi negara dengan income per capita rendah (alias miskin).
Dan yang kemudian menarik adalah, pada saat itu pak Jokowi sebagai politisi (bukan lagi presiden) ada dimana? Dengan peran politik apa? Apakah bikin partai baru ataukah akuisisi partai yang ada? Lalu siapa yang jaga Gibran dalam dinamika politik koalisi gemuk yang tensinya naik turun tajam?
Wallahualam (*)
Dikatakan sampai dengan Agustus 2023 karena sejak Sept 2023 gugatan batas usia minimal capres/ cawapres mulai mencuat dan pemerintahan koalisi Indonesia Maju Jokowi mulai nampak goyah hingga pasca pemilu 14 Pebruari 2024saat ini. Apalagi disisa waktu presidensi Jokowi sampai 20 Oktober 2024, makin goyah ditengah derasnya arus delegitimasi hasil pilpres dan tuntutan pemakzulan presiden. Entah apa yang akan terjadi sebelum 20 okt 2024 nanti.
Pembentukan Kabinet Indonesia Maju Prabowo-Gibran menuju Okt 2024, , nampaknya akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang signifikan dibandingkan dengan proses pembentukan Kabinet Indonesia Maju Jokowi pada Okt 2019.
Kala itu pembentukan Kabinet Jokowi-KH Ma'ruf Amin awal 2019 yang menang pilpres dengan angka 55,5% berhasil merangkul Prabowo rival kontestasinya sekaligus gerbong Gerindra dan PAN. Partai Demokrat dan PKS yang berjumlah 104 kursi (18% jumlah kursi DPR RI yang 575 kursi) berada di luar pemerintahan. Strategi Presiden Jokowi mampu menstabilkan penyelenggaraan pemerintahan dengan pendekatan konsolidasi mayoritas.
Strategi ini dilakukan karena pengalaman tersendatnya pemerintahan di awal presidensi Jokowi 2014. Seperti diketahui pada periode 2014-2019 koalisi Indonesia Hebat saat itu hanya didukung 37,14% kursi DPR RI ( PDIP. Nasdem, PKB dan Hanura). Baru kemudian pasca pilpres 2014, Koalisi Indonesia Hebat mendapat dukungan baru (pindahan dari Koalisi Merah Putihnya Prabowo-Hatta Rajasa) yakni Partai PPP pada Okt 2014, partai PAN pada Sept 2015 dan Golkar pada Jan 2016 sehingga capai mayoritas dukungan parlemen 68,93%. Sejak tahun 2016 koalisi Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kala sangat solid.
Merujuk analisis intelijen J.H Wenas, pada pra pilpres 2024, sebetulnya Jokowi ingin mereplikasi strategi konsolidasi total ala awal 2019 dengan mengawinkan PDIP-Gerindra, namun apa lacur ditolak PDIP karena PDIP sebagai partai pemenang pemilu 2019 tetap ingin maju sendiri dengan posisi capres, demikian pula Prabowo dengan dukungan Gerindra sebagai pemenang pemilu 2019 ke-3 juga maju capres sendiri.
Bergabungnya Golkar dan PAN dalam kubu Prabowo (mungkin karena arahan Jokowi sebagai semacam bentuk ‘perlawanan’ Jokowi terhadap Megawati) membuat PKB tidak nyaman dan tidak menguntungkan partainya dalam hitungan negosiasi politik kekuasaan. Maka Muhaimin Iskandarpun hengkang cari posisi yang terhormat dengan menjadi cawapres Anis yang didukung Nasdem dan PKS.
Cawe-cawe Jokowi pra pilpres 2024 (mungkin sudah mulai secara bertahap dikondisikan sejak 2 tahun sebelumnya) nampaknya karena gagasan-gagasan besarnya seperti IKN, hilirisasi beberapa sumberdaya tambang strategis, serta peningkatan alutista secara signifikan, yang mulai berjalan, terikat dalam ‘semacam perjanjian bisnis jangka menengah-panjang’ dengan berbagai jaringan investor global (baca sindikasi oligarkhi) yang tidak bisa ditinggal ‘prung’ tanpa jaminan kelanjutannya.
Disinilah kemungkinan ada peran sentral LBP dan Prabowo. Maka Jokowi terpaksa harus menjadi sutradara dan king maker dalam suksesi kepemimpinan pilpres 2024, yang oleh para pengamat dan analis politik, Jokowi secara sadar telah masuk dalam permainan kekuasaan dengan resiko jebakan batman.
Jebakan batman makin nyata ketika Jokowi terpaksa mensiasati masuknya Gibran sebagai cawapres melalui ‘drama MK’ sang paman, sebagai komitmen dan jaminan dukungan langsung Jokowi atas keterlibatannya dalam pelaksanaan gagasan-gagasan strategis tersebut, yang tentu melibatkan mega investasi dan hutang milyaran dollar yang tidak boleh gagal.
Jokowi sangat sadar akan resiko hujatan ‘politik dinasti’, tapi apa lacur! Ditambah lagi keharusan “menang” mungkin menyebabkan berbagai drama seperti ‘intimidasi, money politik, bansos, BLT, serta kooptasi institusional dari A sampai Z. Resiko dituduh curang, tidak etis dan melanggar moral terpaksa harus dihadapi, Tetapi ‘the show must go on’.
Dan…..pilpres pun terlaksana sesuai dengan rencana, walau masih harus menghadapi gugatan serta tuntutan mundur dan pemakzulan via Hak Angket DPR maupun demonstrasi massa yang akan terus bergulir entah sampai kapan.
Kalaupun Presiden Jokowi bisa bertahan sampai akhir masa jabatan, maka sejak 20 Okt 2024 kekuasaan presiden beralih ke Prabowo secara penuh. Jokowi akan ada ‘diluar’ sistem walau masih bisa menggunakan anaknya Gibran sebagai instrument politik kekuasaannya. Tetapi apakah control kekuasaan masih se efektif sebelumnya? Itu yang menjadi pertanyaan besar.
LBP dan tim akan terus mengurusi IKN dan hilirisasi, sementara Prabowo akan mengurusi alutista. Perkembangan waktu dan geopolitik internasional maupun dalam negeri akan menyebabkan situasi politik bisa dinamis. Apalagi bila Gibran juga dipersiapkan menjadi suksesor berikutnya. Pendukung Prabowo pasti akan membangun rivalitas. Juga partai-partai besar pendukung tentu juga introspeksi terhadap peran kunci mereka selama ini. Tidak ada satu partaipun yang mau jadi follower sepanjang masa. Kalau ada peluang menjadi yang paling, kenapa tidak?.
Dari sisi eksternal, keberadaan PDIP, Nasdem, PPP, PKB dan PKS yang juga mayoritas parlemen akan melakukan controlling dalam rangka balancing kekuasaan secara ketat. Tidak mudah dan leluasa bagi Prabowo menjalankan peran presidensinya.
PDIP dan PKS jelas akan konsisten bertahan diluar, tetapi Nasdem, PKB dan PPP seandainya akan beralih masuk koalisi gemuk Prabowo, juga belum tentu menguntungkan.
Hidup dalam koalisi (politik) gemuk, maka partai-partai anggotanya tentu akan bermain peran politik secara dinamis. Disatu sisi membangun kerjasama harmoni, disisi lain akan berselancar sendiri-sendiri untuk mempersiapkan diri secara rahasia merebut elektoral sebanyak-banyaknya pada pemilu 2029. Kalau perlu sikut kiri sikut kanan. Tulus seperti merpati tidak ada dalam kamus politik partai. Yang ada adalah ibarat cerdik seperti kancil.
Pemerintahan koalisi gemuk yang lahir dari preseden proses suksesi yang penuh konflik dan delegitimasi masyarakat umum, serta penuh dendam atas dugaan kecurangan dan pelanggaran etika, akan sangat mungkin menyebabkan koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran terseok-seok dan rapuh.
Sulit memperkirakan apakah pemerintahan koalisi ini akan mampu menorehkan kinerja pembangunan yang memadai dalam memacu kemajuan, kemakmuran dan keadilan menuju Indonesia Emas 2045? Sulit juga memperkirakan apakah middle class economy mampu berkembang dan bersaing dengan ekonomi global, atau justru masuk dalam middle income trap dan tetap menjadi negara dengan income per capita rendah (alias miskin).
Dan yang kemudian menarik adalah, pada saat itu pak Jokowi sebagai politisi (bukan lagi presiden) ada dimana? Dengan peran politik apa? Apakah bikin partai baru ataukah akuisisi partai yang ada? Lalu siapa yang jaga Gibran dalam dinamika politik koalisi gemuk yang tensinya naik turun tajam?
Wallahualam (*)