Terkait IKN, begini masukan para pakar hukum UWP

kanalsatu - Pemerintah terus mempercepat proses pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur. Salah satunya ditandai dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara pada bulan Januari lalu.

Terkait dengan isu tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Wijaya Putra (BEM FH UWP) mengadakan seminar dengan tema “Perspektif Hukum Terhadap Pemindahan Ibu Kota Negara” pada Sabtu, 2 Juli 2022 secara hybrid melalui aplikasi Zoom Meeting dan di Gedung E Universitas Wijaya Putra, Surabaya.

Pada seminar tersebut, BEM FH UWP mengundang 2 (dua) narasumber. Narasumber pertama adalah Fikri Hadi, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra; serta Dr. Suwarno Abadi, S.H., M.Si., Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Dosen Program Pascasarjana Universitas Wijaya Putra. Adapun moderator pada seminar tersebut adalah Nur Hidayatul Fithri, S.H., M.H., Dosen Hukum Agraria FH UWP.

Fikri Hadi mengawali pembahasan dengan menjelaskan alasan Pemerintah mengapa Ibu Kota Negara harus dipindah. Lulusan terbaik Magister Hukum Universitas Airlangga 2020 berkat Tesisnya yang berjudul “Kewenangan Presiden Republik Indonesia Terkait Pemindahan Ibu Kota RI” tersebut menjelaskan bahwa terdapat hasil kajian yang menyimpulkan bahwa Jakarta sudah tidak lagi dapat mengemban peran sebagai Ibu Kota Negara disebabkan berbagai faktor seperti banjir, kemacetan, ancaman bencana seperti gempa bumi, serta penurunan tanah di Jakarta.
Sedangkan alasan dipindahkannya ibu kota keluar Pulau Jawa untuk menghentikan paradigma pembangunan yang Jawa-sentris dan Jakarta-sentris.

“Bayangkan, 70% perputaran uang di Indonesia ada di Jakarta. Selain itu, 57% penduduk di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, kontribusi ekonomi Pulau Jawa terhadap PDB Nasional sekitar 59%. Inilah yang melatarbelakangi mengapa Pulau Kalimantan dipilih sebagai lokasi Ibu Kota kedepan.” ujar Fikri.

Selain itu, Fikri juga menambahkan bahwa Jawa juga menyimpan problematika tersendiri seperti arus urbanisasi yang tinggi seperti di Jabodetabek dan Surabaya, krisis ketersediaan air di Jakarta dan Jawa Timur dan penurunan tanah di sejumlah wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa.

Fikri juga menjelaskan perbandingan konsep ibu kota secara teori dan perbandingannya di luar negeri. Namun ada sejumlah hal yang harus diperhatikan oleh Pemerintah dalam rangka pemindahan Ibu Kota. Pertama adalah implementasi dari green city dan smart city. Kedua adalah aspek keberlanjutan. Pembangunan IKN merupakan pembangunan jangka panjang. Oleh karenanya, harus dipersiapkan apabila kedepan terjadi perubahan situasi politik, hukum, ekonomi, sosial bahkan apabila terjadi bencana yang berpotensi menghambat pembangunan Ibu Kota.

Beliau berkaca pada Krisis Moneter 1997 yang membuat berbagai pembangunan strategis nasional terhenti.

Ketiga adalah bagaimana memisahkan antara pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Karena dari sudut pandang kajian ekonomi, pusat bisnis akan lebih efektif bila berdekatan dengan pusat pemerintahan.

“Namun kita pernah mengalami hal tersebut di akhir abad 19 dan awal abad 20 pada masa Hindia Belanda, yang mana pusat pemerintahan adalah Batavia namun kota sekaligus pusat industri terbesar adalah di Surabaya. Pemerintah bisa belajar dari hal tersebut.”, ujar Fikri pada sesi akhir pemaparan.

Sedangkan narasumber kedua, Dr. Suwarno Abadi, S.H., M.Si., mengkaji UU IKN berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta perubahannya. Suwarno menganalisis dari naskah akademik UU IKN dari sudut pandang kemutakhiran serta kuantitas referensi yang digunakan pada naskah akademik UU IKN.

“Seyogyanya, naskah akademik menggunakan referensi yang mutakhir dan lebih banyak. Karena proses pemindahan Ibu Kota berimplikasi pada berbagai aspek.”, Ujar Suwarno.

Suwarno juga mengkritisi belum dibentuknya peraturan teknis atau peraturan pelaksana dari UU IKN. Padahal peraturan pelaksana tersebut dibutuhkan agar UU IKN tersebut dapat diimplementasikan dan memberikan kepastian hukum. Selain itu, beliau juga mengkritisi proses cepat pengesahan UU IKN sehingga terkesan minim partisipasi masyarakat. Padahal pemindahan ibu kota berdampak kepada banyak sektor dan berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat setempat.
“Kita harus berkaca pada cacat formil pada UU Cipta Kerja yang salah satunya dikarenakan cepatnya pembahasan UU tersebut sehingga dinilai minim partisipasi masyarakat. Dengan merujuk pada kejadian yang lalu, diharapkan UU IKN ini tidak bernasib sama dengan UU Cipta Kerja.”, tambah Suwarno.

Terakhir, Suwarno menutup pemaparannya dengan menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam bermasyarakat. Hukum yang baik tidak hanya berupa menciptakan hukum tertulis untuk kepastian hukum saja, melainkan juga partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum tersebut. Itulah konsep the living law yang senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat.

Dekan FH UWP, Dr. Andy Usmina Wijaya, S.H., M.H. menyampaikan pada sambutannya bahwa adanya seminar tentang IKN yang diselenggarakan oleh BEM FH UWP tersebut merupakan wujud partisipasi civitas akademika FH UWP terhadap salah satu isu skala nasional, yakni pemindahan Ibu Kota Negara.

Hal senada juga disampaikan Rektor UWP, Dr. Budi Endarto, S.H., M.Hum., yang mengapresiasi kegiatan seminar tersebut. Seminar ini menunjukkan kepekaan mahasiswa FH UWP terhadap isu hukum di tengah masyarakat. Hal ini sejalan dengan tagline UWP, “Growth With Society”.

Diharapkan pembahasan IKN tidak hanya berhenti pada seminar ini, melainkan juga pada ranah yang lebih besar seperti diskusi publik yang melibatkan masyarakat, akademisi serta Pemerintah Pusat.(*/KSC)

Komentar