Harga Demokrasi

Oleh Lutfil Hakim, praktisi media

Tidak ada yang salah dengan teori tentang demokrasi, baik klasik maupun moderen. Sejak jaman Plato, Aristoteles, Abraham Lincoln, hingga demokrasi kontemporer, ruh demokrasi tetap sama, yakni bermuara kepada “pemujaan” kepentingan rakyat. 

Maka itu wilayah “kepentingan rakyat” selalu menjadi jargon pada setiap perebutan kekuasaan. Siapa yang berani mengumbar janji atas nama  kepentingan rakyat, maka peluang untuk memenangkan perebutan kekuasaan relatif lebih besar. Termasuk perebutan menjadi wakil rakyat.

Begitu juga pada sistem demokrasi politik di Indonesia. Setiap musim pemilu, baik pilpres, pemilu legislatif atau pun pilkada, materi kepentingan rakyat selalu menjadi thema dan diumbar dimana-mana, baik melalui spanduk, baliho, pamflet, bahkan tidak sedikit placement  iklan di media massa (tv, cetak, online, radio, dan media sosial).

Politisi harus berani berjanji. Soal implementasi urusan nanti. Sebab jika berjanji saja tidak mampu, lantas apa reference publik untuk memilihnya. Nah, pada proses berjanji kepada rakyat inilah “demokrasi” menjadi mahal. Bahkan di Indonesia tergolong sangat mahal.

Sistem pemilu yang menempatkan “partai politik” sebagai agen utama proses rekrutmen calon (capres, cagub, cabub/cawali, caleg) semakin menambah daftar panjang besaran biaya demokrasi di Indonesia. Sebab calon wajib mengeluarkan “biaya partisipasi” kepada partai pemberi rekom. istilah populernya disebut “mahar”.

Para calon juga harus melakukan “pencitraan diri” untuk mengejar popularitas, acceptabilitas, dan elektabilitas dengan biaya tidak murah. Ini sebagai akibat dari kebijakan parpol menerapkan sistem survei sebagai basis argumen penetapan calon. Selain survei oleh parpol, biasanya secara pribadi, calon pun menyewa jasa survei untuk mengukur posisinya.

Artinya, sebelum mendapat rekom partai, calon pun sudah harus menyapa publik agar lebih dikenal. Agar popularitas dan elektabilitasnya naik. Sudah melakukan kampanye tipis-tipis. Deklarasi secara terbuka bahwa dirinya adalah salah satu calon pada pemilu, yang itu artinya sudah siap melayani datangnya para broker politik dengan aneka proposal.

Sampai di sini saja biayanya sudah cukup besar. Pengorbanan juga besar dalam melayani banyaknya tamu dengan agenda kepentingan masing-masing, mulai dari yang rasional ingin membantu mensukseskan – hingga yang tidak rasional. Meski demikian antara yang rasional maupun yang tidak rasional tetap ada kesamaan, yakni UUD (ujung-ujungnya duit).

Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei). Demikian kira-kira yang ada dibenak para broker politik. Artinya suara rakyat harus dimaknai dan dihargai tinggi-tinggi. Menurutnya, itulah “azas demokrasi”. Rakyatlah yang berdaulat, meski hanya di musim pemilu. Sehingga semua yang atas nama rakyat, tidak ada yang gratis. Ada bandrolnya.

Artinya, pada tahapan untuk mendapatkan rekom saja, para calon sudah harus mengeluarkan banyak energi, merogoh koceknya dalam-dalam. Nilainya pun tidak sedikit. Tenaganya harus kuat, waktunya harus longgar, karena harus berkeliling “menyapa” seluruh rakyat. Saat di depan publik, calon harus tampil seperti hero, cuap-cuap sedikit, lantas dijawab yel-yel.  Itulah wajah demokrasi kita.

Terus begitu setiap hari, pidah-pindah tempat bersama tim sukses dan para brokernya. Seolah berpacu mengimbangi jalannya tim survei yang diturunkan oleh partai. Seolah-olah partai sedang mengawasinya bahwa calon tersebut sungguh-sungguh dan serius ingin mendapatkan rekom. Tapi benarkah hasil survei merupakan satu-satunya alat ukur partai dalam menetapkan calon.

Proses kontestasi calon di parpol umumnya berjalan rumit, berliku, politiking, dan bertele-tele. Polarisasi di tubuh partai selalu terjadi menjelang musim pemilu. Artinya resiko biaya semakin tinggi. Jika calon ingin aman, maka semua kubu di tubuh partai “harus diselesaikan”. Jika calon adalah bukan kader (internal) partai, maka biayanya bisa lebih besar. Jadi hasil survei saja tidak cukup. Inilah  fakta, bagian dari proses yang disebut sebagai demopkrasi.

Dan yang paling penting, calon harus siap mengorbankan perasaannya manakala ternyata namanya dicoret oleh parpol saat penetapan. Meski calon itu sudah mengikuti proses kontestasi yang panjang dan melelahkan dengan biaya yang tidak sedikit. Itulah harga demokrasi yang harus dibayar.

Sejak jaman Aristoteles arti demokrasi sebenarnya sudah di-jlentrehkan yakni praktek penyimpangan (manipulatif) kepentingan rakyat oleh pihak-pihak keterwakilan (untuk konteks ke-indonesiaan- bisa oleh parpol, tokoh masyarakat, politisi, atau pihak-pihak yang menyaru sebagai tokoh agama). Atas nama demokrasi, semua simbol rakyat “ditransaksikan”.

Pada tahapan berikutnya, ketika calon sudah mendapat rekom dari parpol, maka ketahanan energi dan mental calon harus lebih besar lagi. Pekerjaan besar kali ini bukan lagi “membeli” pengaruh pengambil keputusan di tingkat partai, tapi lebih luas lagi ke banyak pihak di masyarakat – meski tidak saling mengikat. Kampanye besar-besaran harus dilakukan. Tim sukses dibentuk. Simpul-simpul kekuatan publik harus “diberdayakan”. Tentu semua berbasis biaya. Tidak ada yang gratis.

Bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon (calon presiden, calon gubernur, cabub, cawali, dan caleg di semua tingkatan )– mulai dari mengusahakan rekom partai, sampai pada terselenggaranya pemilu. Besaran nilai itulah bandrol demokrasi di Indonesia.

Pertanyaannya, dari mana calon mendapatkan dana. Apakah dari tabungan, pinjaman/berhutang, atau sponsor. Ibarat sebuah bisnis, mengusahakan kekuasaan adalah sebuah langkah spekulatif. Sangat spekulatif. Bahkan lebih spekulatif dari investasi di bursa valas sekalipun.

Memang, seiring dengan itu, usaha industri/jasa terkait pemilu tumbuh pesat: seperti konsultan politik, jasa survei, konsultan komunikasi pencitraan, broker politik, jasa pengerah massa, jasa periklanan (termasuk umbul2, spanduk, baliho, pamflet sampai billboard dan videotron, space iklan di koran, online, radio, tv, dll). Tapi di sisi lain, makna dan wajah demokrasi itu sendiri kian hari kian buram.

Money Politics

Meski menjelang pemilu banyak sekali digelar seminar dan diskuisi-diskusi bertajuk “Pemilu Bersih” atau “Pemilu Tanpa Money Politic” atau thema sejenis lainnya, tapi toh faktanya praktek  “transaksi suara”  di lapangan tidak bisa dihindarkan. Panwas pun tidak mampu mengawasi semuanya. Sehingga thema-thema diskusi, FGD, dan seminar itu hanyalah  political cosmetics, atau aksesoris demookrasi.

Mekanisme money politics sudah disiapkan matang. Mulai dari politik amplop door-to-door kepada massa pemilih, sampai transaksional dengan para pihak terkait penghitungan suara itu sendiri. Tidak semua demikian, memang. Tapi secara umum itulah fakta yang sering terjadi. Itulah fakta demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia.

Maka itu tidak heran ketika tiba-tiba muncul para tokoh/berduit terpilih menjadi anggota DPR  – meski pada proses kampanye nyaris tidak pernah ada di dapil (daerah pemilihan). Tidak pernah kampanye, tapi bisa menang dan terpilih. Karena tokoh itu memiliki tim sukses yang kuat dengan modal yang kuat. Sistem demokrasi ternyata berpeluang menciptakan hubungan politik secara instan. Tanpa harus saling kenal tapi berhasil mendapatkan suara banyak.

Begitu juga pada pilkada. Bukan warga setempat tiba-tiba muncul menjadi calon kepala daerah di tempat tersebut. Bukan politisi tapi bisa mendapatkan rekom dari Partai A dan Partai B. Bahkan ada calon yang nota-bene ketua Partai  Y di satu daerah, tapi maju sebagai cabub diusung oleh Partai Z, karena DPP Partai Y tidak merestui. Semua serba mungkin di alam demokrasi ala Indonsia.

Semua bisa diatur. Meski tidak semuanya bisa diatur-atur. Tentu tidak ada yang gratis. Semua ada bandrolnya. Jangan pernah bermimpi menjadi anggota legislatif jika tidak memiliki cukup dana. Apalagi bermimpi menjadi kepala daerah (gubernur, bupati/walikota).

Saat dulu kepala daerah – seperti gubernur Jatim –  dipilih melalui DPRD Provinsi, maka cagub tidak perlu “mendekati” 100 orang anggota, cukup 55 anggota  DPRD plus dana partisipasi kepada partai pemilik kursi dewan, sudah beres. Jadilah gubernur. Biayanya murah, tidak memakan waktu, dan jauh dari kegaduhan. Tapi pola pemilihan keterwakilan seperti itu dinilai tidak demokratis.

Sekarang, dengan pemilu langsung, jangan berkhayal menjadi gubernur di Jawa, misalnya, jika tidak menyiapkan dana ratusan miliar untuk proses pilkada. Selain biaya persiapan untuk mendapat rekom partai, juga ada biaya partisipasi kepada partai. Kemudian biaya kampanye, biaya saksi yang sangat besar karena jumlah DPT sekitar 30 jutaan, serta biaya “pengkondisian” suara (money politics).  

Khusus Pilgub di DKI bahkan  biayanya jauh lebih besar lagi meski DPT-nya cuman sekitar 8 juta. Biaya demokrasi di Jakarta lebih mahal. Belum termasuk biaya kegaduhan, serta biaya lain akibat proses politik yang melelahkan. Tapi itulah harga demokrasi yang harus dibayar.

Sistem demokrasi  telah mengubah perilaku masyarakat  yang tadinya apatif menjadi progresif. Bahkan ada yang secara terang-terangan menawarkan suaranya untuk dibeli. Meski “suara”  itu sendiri sebenarnya sudah diperdagangkan berkali-kali kepada calon lainnya. Ini sebuah fakta dalam demokrasi kita.

Semoga saja penyelenggara pemilu dan pengawasnya (KPU & Panwas) masih bisa berjalan proporsional di rel-nya. Karena hanya kepada lembaga-lembaga inilah bangsa ini berharap terselenggaranya pemilu yang berkualitas. Meski masih saja terdengar sayup-sayup suara sumbang tentang masih adanya oknum yang bisa “mengatur suara” pasca pencoblosan. Semoga saja kabar ini hanya isyu dan hoax.

Tapi kalau isyu itu benar-benar terjadi, maka buat apa kita capek-capek menyelenggarakan pemilu. Karena sistem apapun demokrasi yang akan dipilih, sepanjang moral para pihak masih berfikir pendek untuk kepentingan pribadi, maka sepanjang itu pula kualitas demokrasi dan penyelenggaraan pemilu tidak akan pernah maksimal.

Sejauh ini hampir di semua pilkada hasilnya masih ada sengketa - yang menandakan belum optimalnya kinerja penyelenggara pemilu. Sehingga membuat repot Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutuskan siapa pemenangnya.  Tapi, apakah putusan MK juga terjamin keasliannya, sementara pernah terjadi dimana Ketua MK (berinisial AM) terkena OTT KPK terkait sengketa pilkada beberapa tahun silam. Semoga  apa yang dilakukan oleh AM adalah perbuatan pribadi, bukan kolektif-kolegial kelembagaan. Sehingga biaya demokrasi yang sudah mahal tidak menjadi semakin mahal - manakala terjadi sengketa.

Selain biaya besar yang harus disiapkan oleh para calon, sistem demokrasi politik kita juga membutuhkan anggaran besar dari APBN. Biaya pilpres dan pilkada yang dialokasikan dari kocek negara mencapai pupuhan triliun. Pada Pileg dan Pilpres 2014, misalnya, APBN mengeluarkan Rp16,6 triliun (APBN 2013 dan 2014). Kemudian biaya Pilkada Serentak 2015 mencapai Rp7,1 triliun. Pilkada Serentak 2017 mencapai Rp4,2 triliun. Dan biaya Pilkada Serentak 2018 dianggarkan Rp11,3 triliun.

Pertanyaannya, apakah dana APBN sebesar itu - sudah bisa meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu, baik Pileg, Pilpres, maupun Pilkada. Apakah  angka golput masih tinggi. Kemudian, apakah kualitas pemilu sudah berjalan baik. Jika kualitas pemilu baik, apakah lantas bisa menghasilkan pemimpin atau legislatif yang baik pula, mengingat proses rekrutment para calon di tingkat partai telah tersistem secara tidak baik.

Berdasarkan rumor yang berkembang di masyarakat dan di medsos, hanya dua hal yang dipikirkan oleh kepala daerah atau anggota legislatif pasca terpilih (pelantikan)  yakni Pertama: berfikir modal pilkadanya segera kembali, dan Keduabagaimana caranya pada pilkada berikutnya bisa ikut lagi dan menang.

Coba kita hitung. Untuk menjadi bupati di Jatim, misalnya, dibutuhkan dana sedikitnya Rp20 miliar. Artinya, dalam lima tahun bupati terpilih harus bisa mendapatkan Rp330 juta setiap bulan agar mencapai BEP (kembali modal). Jika pada pemilu depan masih akan ikut lagi, maka pendapatan dana yang dicari harusnya lebih besar lagi.

Nah, berapa sebenarnya pendapatan resmi bupati/walikota atau gubernur. Jika rugi, kenapa banyak yang ingin menjabat kepala daerah. Bahkan dengan berbagai cara dilakukan. Jika jabatan itu menguntungkan, darimana keuntungan itu diperoleh. Jika pejabat memaksakan diri untuk untung, maka tidak sedikit fakta membuktikan bahwa karir para pejabat yang demikian akan berakhir di balik jeruji penjara.

Gaji pokok dan tunjangan jabatan bupati tidak lebih dari Rp10 juta per bulan. Ditambah tunjangan operasional yang berasal dari prosentase besaran PAD. Jika PAD-nya di atas Rp500 miliar, maka tunjangan operasional bupati 0,15% dari PAD. Misalnya PAD-nya mencapai Rp1 triliun, maka operasional bupati ya lumayan besar , plus Rp10 juta.

Sebagai gambaran, PAD kabupaten/kota se-Jatim tdak ada yang tembus angka Rp1 triliun kecuali Kota Surabaya, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo. Lainya hanya ratusan miliar. Lantas kapan bupati/walikota bisa mengembalikan modalnya (BEP) – sekaligus keuntungnya - jika asumsi untuk biaya pilkada habis Rp20 miliar. Jika lebih dari Rp20 miliar, maka harus lebih capek lagi untuk mendapatkannya.

Artinya, sepanjang sistem politik dan biaya demokrasi masih mahal, bahkan kabarnya termahal di dunia, maka sepanjang itu pula KPK akan dipertahankan keberadaannya. Karena kasus korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, diduga akan terus berlangsung marak. Sebagai konsekwensi logis dari besarnya modal yang dikeluarkan untuk menjadi pejabat ekskutif maupun legislatif dalam bungkus demokrasi.

Edukasi, pencegahan dan penindakan oleh lembaga hukum akan menjadi mubazir selama bandrol demokrasi politik masih mahal. Belum lagi kalau di dalam lembaga penegak hukum itu sendiri masih ada oknum-oknum  yang bisa mengatur besaran tuntutan dan mengatur putusan persidangan, maka lingkaran setan di alam demokrasi Indonesia tidak akan pernah ada ujungnya. Demokrasi “lingkaran setan”.

Jabatan kepala daerah sejatinya adalah fungsi manajerial dalam mengelola anggaran. Karena hanya fungsi ini yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Jika tidak proporsional dalam mengelola anggaran atau rendah dalam serapan dana pembangunan, maka rakyatlah yang dirugikan. Ini soal kapasitas pemimpin pemerintahan, baik di pusat maupun daerah.

Sistem demokrasi politik yang kita anut sekarang membuka peluang kepada siapapun, termasuk pihak yang tidak memilik kapasitas kepemimpinan untuk menjadi pejabat atau legislatif. Sepanjang mampu “menyenangkan” parpol untuk mendapatkan rekom, dan mampu menyenangkan rakyat melalui cara-cara popularitas pinggiran, maka jadilah. Artinya, demokrasi tidak menjamin hasil. Jaminan yang dikejar oleh sistem demokrasi hanyalah demokrasi itu sendiri.

Kita sering terjebak seolah-olah kehidupan itu hanyalah soal  demokrasi dalam memilih pemimpin pemerintahan. Pemilu dan pilkada seolah segalanya. Masih segar ingatan kita, betapa riuhnya kegaduhan kehidupan bangsa ini terkait pelaksanaan Pilgub DKI 2017.

Kita lupa bahwa Kepala daerah hanyalah nahkoda untuk menjalankan kapal besar yang bernama pemerintahan. Artinya, jauh lebih penting sebenarnya kalau kita mendiskusikan (memperhatikan) soal kualitas kapal itu sendiri. Tidak ada artinya punya nahkoda berkualitas jika kualitas kapal tidak baik Apalagi jika seluruh kru kapal - termasuk nahkodanya - ternyata bermental tidak baik. Jika demikian, lantas buat apa ada pilkada ? Sekedar mau mengklaim bahwa kita "demokrasi" ?

Penguatan birokrasi pemerintahan – termasuk di daerah jauh lebih penting dipersoalkan ketimbang tenaga kita habis hanya untuk ngurusi soal pemilihan kepala daerah. Sistem pemerintahan daerah harusnya terus-menerus dibenahi agar mampu menjalankan amanah program secara efektif. Reformasi birokrasi urgen dlakukan. Tapi bisakah kepala daerah melakukan reformasi birokrasi sementara biaya politik untuk menjadi kepala daerah sangat mahal. Maka yang terjadi adalah saling memanfaatkan. 

Seberapapun dana yang dikucurkan untuk program dan pelayanan masyarakat, harus dipastikan bahwa hasilnya dirasakan maksimal oleh seluruh rakyat. Pinter saja tidak cukup jika tidak dilengkapi kejujuran. Tapi jujur saja juga tidak cukup jika tidak pintar, karena target bisa distortif jika tidak pintar. Jika kualitas "kapal pemerintahan" (birokrasi) sudah terbangun secara ideal, maka siapapun yang menjadi "nahkoda" (kepala daerah) adalah tidak penting. Karena sistem sudah bagus dan kuat.

Kita harus terus-menerus belajar untuk berfikir yang subtansial. Tapi fakta yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Sebagian besar kegiatan oleh pemda (atau pemerintah pusat) hanyalah soal bagaimana keputusan yang diambil tidak menyalahi peraturan. Tidak melanggar ketentuan. Pekerjaannya hanya utak-atik cara mensiasati agar program yang diusulkan dan dijalankan aman. Tidak semua demikian, memang. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa faktanya demikian.

Artinya, Pejabat kepala daerah yang dilahirkan dari pemilu demokratis tidak menjamin kualitasnya baik. Padahal sistem demokrasi yang kita pilih sangatlah mahal. Maka itu siapapun pemimpin yang terlahir dari  Ibu kandung Demokrasi saat ini, hendaklah berfikir dalam-dalam dan tidak main-main. Karena apapun kualitas demokrasi yang ada, sejatinya di balik itu terkandung harapan besar terwujudnya kehidupan yang lebih baik, yakni kehidupan masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera.

Mungkin para founding fathers bangsa ini tidak pernah bermasud bahwa sistem demokrasi yang dibangunnya dahulu menjadi berubah ekstrim seperti sekarang, yakni menjadi  sistem demokrasi mata duitan -- meski banyak pihak dengan bangga mengklaim bahwa itulah Demokrasi Pancasila.

Biarlah  proses demokrasi ini berjalan sesuai platform yang ada. Tapi ingat, jika kita ingin menjaga harkat dan martabat individu kita di hadapan "Kebenaran Ilahi",  maka janganlah pernah sekalipun memaklumkan terjadinya transaksi politik, apapun bentuknya. Karena itu adalah perbuatan jahat. Ini harus menjadi sikap kita. Minimal dengan sikap inilah masih ada "sisa kebanggaan" pada hidup kita. (*)

 

 

Komentar