Sektor migas berjalan di tempat

Oleh Lutfil Hakim

KANALSATU – Haruskah Indonesia melakukan kebijakan ekstrim terkait pengetatan konsumsi minyak dan gas (migas) di tingkat hilir, agar terbatasnya pasokan bisa menyeimbangkan tingkat kebutuhannya. Mungkinkah secara politik kompromi kebijakan semacam itu bisa tercapai, sementara lifestyle kehidupan masyarakat sudah terlanjur glamaour dalam hal mengkonsumsi BBM—seiring terus meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dalam beberapa tahun terakhir.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 2013 jumlah kendaraan bermotor mencapai 104 juta unit. Pada 2015 naik menjadi 122, 2 juta unit. Sampai Juli 2016, sudah naik menjadi 124, 4 juta unit dengan rata-rata pertumbuhan 6 juta unit per tahun. Sekitar 10 – 15 persen kontribusinya datang dari jnis mobil.

Belum termasuk kebutuhan sektor industri manufaktur terhadap energi migas yang rata-rata per tahun tumbuh sekitar empat persen (4%).  Balum lagi kebutuhan migas untuk pemenuhan pembangkitan listrik yang jumlahnya juga besar – seiring target-target kelistrikan nasional dalam kaitannya denan pembangunan ekonomi nasional. Ketersediaan listrik terpasang kini mencapai 53.500 MegaWatt, jauh dari angka ideal kebutuhannya. Maka itu pemerintah mengupayakan penambahan tenaga listrik sebesar 35.000 MW, sehingga diharapkan sesuai jadwal pada 2020 sudah terpasang kapasitas 88.500 MW. 

Pada 2022,  kebutuhan daya listrik diperkirakan sudah mencapai 125.000 MW,  dan pada 2031 diprediksi meningkat dua-kali lipat menjadi 240.000 MW. Jika menggunakan penghitungan konservatif berbasis asumsi pertumbuhan ekonomi antara 5% – 7% per tahun, maka harus tersedia pasokan listrik baru minimal 7000 MW per tahun. Artinya pada 2022 harusnya  ada penambahan tenaga listrik baru sebesar 42.000 MW – sehingga totalnya menjadi 95.500 MW dan 158.500 MW pada 2031.

Semua itu membutuhkan BBM dan energi migas dalam jumlah yang sangat besar. Jika pasok BBM dan energi migas lain tidak stabil, maka pembangunan ekonomi juga akan berjalan secara tidak stabil. Importasi energi khususnya minyak sudah menjadi keniscayaan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang saat ini mencapai 1,6 juta barel per hari. Sementara produksinya hanya di kisaran 800.000 barel per hari dan memiliki kecenderungan menurun, seiring dinamikan investasi sektor migas yang cenderung lesu.

Importasi minyak masih bisa diupayakan meski agak  berat beban di APBN walaupun jumlah subsidi BBM telah berhasil diturunkan. Namun untuk sektor lainnya, seperti industri dan kelistrikan yang nota-bene banyak bergantung dari gas bumi, terpaksa harus dijadwal ulang investasinya mengikuti jumlah pasokan gas yang ada. Memang untuk sektor gas bumi belum melakukan impor (sebagaimana minyak yang sudah berstatus net-importir). Namun tren pertumbuhan di tingkat konsumsi gas jauh lebih cepat dibanding tingkat produksinya.

Menurut estimasi Dewan Energi Nasional (DEN), konsumsi migas Indonesia akan menjadi 3,63 juta barel setara minyak per hari pada 2025 dan menjadi a8,49 juta barel pada 2050. Di sisi lain, tren lifting migas terus menurun. Data SKK Migas menyebutkan, lifting migas telah turun dari 2,34 juta barel setara minyak per hari di 2010 menjadi 1,928 juta barel setara minyak per hari pada Juli 2017. Tanpa ada penemuan cadangan baru, lifting diperkirakan terus merosot menjadi 1,75 juta barel setara minyak per hari pada 2020.

Ada banyak faktor yang membuat produksi migas menurun. Semua itu tidak terlepas dari kondisi migas saat ini, termasuk diantaranya sebesar 72 persen produksi migas nasional berasal dari lapangan-lapangan tua yang telah berproduksi lebih dari 30 tahun. Kondisi ini memaksa tingkat produksinya terus menurun. Laju penurunan lapangan untuk minyak bumi, misalnya,  rata-rata mencapai 29 persen per tahun. Sementara laju penurunan produksi gas bumi 18 persen per tahun. 

Selain itu, sebanyak 64 persen pipa panyalur dan 57 persen anjungan lepas pantai sudah terpasang sebelum tahun 1980. Pencarian cadangan migas melalui kegiatan eksplorasi pun belum banyak membuahkan hasil yang menggembirakan. Di sisi lain cadangan migas di Indonesia semakin menipis. Data SKK Migas menyebutkan, untuk minyak pada 2009 tercatat cadangan terbukti sebesar 4,3 miliar barel. Jumlah ini turun menjadi 3,3 miliar barel pada 2016. Begitu pula dengan gas bumi, pada 2009 cadangan terbukti sebesar 107,3 triliun kaki kubik, namun turun menjadi 101,2 triliun kaki kubik pada 2016. 

Tren penurunan produksi itu tidak diikuti oleh tren ketergantian yang ideal, sehingga reserve replacement ratio (RRR) pada 2016 hanya 64,4 persen. Nilai ideal RRR harusnya 100 persen. Artinya, bila diambil 1 barel minyak dari perut bumi harus diimbangi dengan upaya menemukan cadangan baru dengan volumen minimal sama.

Dikotomi konsumsi vs produksi kian hari kian menganga, sehingga banyak pihak mengkhawatirkan Indonesia bakal mengalami krisis migas,  jika potensi-potensi yang ada – seperti perburuan cadangan baru di cekungan sedimen – tidak digiatkan dan tidak  didukung  dengan iklim investasi yang kondusif.

Memang, secara makro—beratnya harga crude oil di pasar dunia menjadi salah satu variabel bagi investor (KKKS)  untuk melakukan ekspansi. Tapi bukan berarti tidak sama-sekali, hanya mereka melakukan secara hati-hati dan efisien. Mereka lebih mencari lokasi investasi yang mudah, banyak fasilitas insentif,  dan iklimnya yang kondusif. Negara yang dinilai tidak efisien terkait investasi migas tentu akan dihindari, karena akan semakin menambah beban finansial investasinya.

Indonesia,  dengan cadangan yang masih tersedia itu (itandai banyaknya cekungan sedimen yang belum tergarap), sayangnya dinilai sebagai salah satu negara tujuan investasi migas yang kurang manarik. Dinilai perlu banyak melakukan reformasi di sektor migas, terutama terkait regulasi dan perizinan. Masih banyak ketidak-sinkronan  antara pemerintah pusat  vs pemerintah daerah pasca pelaksanaan otonomi  daerah – terkait pelaksanaan hulu migas --  yang dinilai berpotensi mengganggu. 

Mereka, para investor, menginginkan adanya reformasi total terkait perizinan, mulai dari proses lelang blok migas – hingga pelaksanaan eksplorasi dan produksi. Bahkan pola bagi-hasil yang baru yakni “gross split” pun dinilai kurang menarik – meski sebagian dari mereka mengakui pola baru ini masih lebih baik dari pola lama yakni  “contract production sharing” dengan pola cost recovery.

Sebuah survei oleh Fraser Institute  mengenai Policy Perception Index 2016 -- bahkan telah menempatkan Indonesia di posisi 79 dari 96 yurisdiksi pada konteks daya minat investor migas untuk berinvestasi. Bahkan Iklim investasi migas di Vietnam dan Myanmar dianggap lebih baik, yakni di posisi 40 dan 69.  Di kawasan Asean, Indonesia berada di posisi terendah dari negara lainnya. Selain aspek regulasi, aspek perpajakan dan fiskal juga masuk sebagai faktor ketidak-nyamanan  bagi investasi hulu migas. Ketidak-pastian kebijakan, istabilitas politik &  keamanan merupakan bagian lain yang melengkapi.

Bila keadaan tersebut terus berlanjut dan tidak ada perbaikan iklim investasi di Indonesia, bukan tidak mungkin investor migas semakin enggan menanamkan modalnya di dalam negeri. Bahkan, investor yang sudah ada (existing investment) bisa saja pergi. Hal ini akan berdampak tidak langsung maupun langsung terhadap tingkat ketahanan energi nasional dan performa perekonomian Indonesia di masa mendatang. 

Minyak dan gas (migas) sebagai penopang utama ketahanan energi nasional – sebenarnya bisa jauh dari krisis, sepanjang aktivitas pencarian cadangan baru terus digalakkan. Kemudian lapangan migas yang sudah dilelang diberi kemudahan seluas-luasnya untuk melakukan aktivitas eksplorasi. Dua aspek penting itu bisa diupayakan sepanjang ada keputusan politik (political wiil) yang disepakati.

Selain itu, khusus lapangan migas yang sudah berproduksi, pihak investornya (Kontraktor Kontrak Kerja Sama/KKKS) perlu didorong dengan aneka inentif untuk terus melakukan “perburuan baru” fosil migas  ke lapisan bumi yang lebih dalam. Atau diberi kemudahan seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam proses pencarian cadangan baru, dan diberi banyak kemudahan untuk hak kelola, eksplorasi hingga produksi. Sebab potensi migas nasional sebenarnya masih tersedia. 

Dari catatan Kementerian ESDM, setidaknya terdapat  128 cekungan sedimen yang diduga mengandung migas. Sejauh ini, diantara cekungan sedimen itu sudah dilakukan aktivitas, dan hanya 60 cekungan saja yang belum dilakukan eksplorasi. Sedangkan 68 cekungan lainnya sudah dilakukan aneka kegiatan, diantaranya bahkan sudah berproduksi (23 cekungan),  persiapan produksi (1 cekungan), penemuan eksplorasi (12 cekungan), eksplorasi dengan indikasi (28), dan hanya empat (4) cekungan saja yang sudah di eksplorasi tapi belum dutemukan indikasi migas. Secara total, deposit minyak di celah-celah cekungan itu diduga masih tersimpan sekitar 583,2 miliar stok tank barel, dan gas bumi diduga terkandung  1.543 triliun kaki kubik. 

Selain pemberian aneka kemudahan bagi investor untuk mengangkat potensi migas dari perut bumi Indoonesia, perlu juga dilakukan terobosan seperti pengembangan migas secara non-konvensional,  juga menjangkau wilayah Timur Indonesia yang selama ini masih jarang di-eksplorasi, serta diperlukan pengembangan konsep-konsep baru untuk penemuan cadangan migas baru. Tanpa adanya ghirah dan terobosan baru, maka sebenarnya perkembangan sektor migas nasional hanyalah berjalan di tempat.””(ks-3)

Komentar