PLTN, Antara Kebutuhan dan Kekhawatiran

Oleh: Hamidi Rahmat

Semakin maju kehidupan suatu masyarakat, semakin sejahtera mereka, semakin maju negaranya, maka konsumsi listriknya semakin tinggi. Demikian pula halnya dengan negara kita, Indonesia, setiap tahun kebutuhan akan listrik selalu meningkat, baik karena pertambahan jumlah penduduk maupun karena peningkatan konsumsi tenaga listrik per kapita.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menunjukkan bahwa konsumsi listrik Indonesia meningkat 69.962 MWh (46,23 %) selama 5 tahun dari 151.334 MWh pada tahun 2009 menjadi 221.296 MWh pada tahun 2014 atau meningkat 9,25 % per tahun.

Peningkatan ini disebabkan oleh pertambahan penduduk sebesar 20,78 juta jiwa (8,98 %) selama 5 tahun dari 231,37 juta jiwa pada tahun 2009 menjadi 252,15 juta jiwa pada tahun 2014 atau meningkat 1,79 % per tahun. Juga disebabkan oleh peningkatan konsumsi tenaga listrik per kapita meningkat 0,23 MWh (35,38 %) selama 5 tahun dari 0,65 MWh pada tahun 2009 menjadi 0,88 MWh pada tahun 2014 atau meningkat 7,08 % pertahun.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tahun  I  Penduduk (ribu Jiwa) I Konsumsi Listrik (MWh)  I  Konsumsi  Listrik/kapita (MWh)
2009          231.369,50                   151.334,00                                         0,65
2010          237.641,32                   165.969,00                                         0,70
2011          241.990,70                    178.279,00                                        0,74
2012          245.425,20                    194.289,00                                        0,79
2013          248.818,10                    208.035,00                                        0,84
2014          252.164,80                    221.295,00                                        0,88
Sumber : Statistik Ketenagalistrikan, DJK KESDM, 2014

Penduduk yang mengkonsumsi tenaga listrik tidak hanya perduduk di perkotaan atau di pulau Jawa saja, tetapi juga penduduk di pedesaan di berbagai pulau yang ada di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan data yang dirilis oleh KESDM tentang rasio elektrifikasi Indonesia, yaitu jumlah rumah tangga di Indonesia meningkat 6.640.655 rumah tangga (11,41 %) selama 5 tahun dari 58.194.437 rumah tangga pada tahun 2009 menjadi 64.835.092 rumah tangga pada tahun 2014 atau meningkat 2,28 % per tahun.

Jumlah rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik meningkat 16.116.966 rumah tangga (41,78 %) selama 5 tahun dari 38.573.465 rumah tangga pada tahun 2009 menjadi 54.690.431 rumah tangga pada tahun 2014 atau meningkat 8,36 % pertahun. Dengan demikian, rasio elektrifikasi Indonesia meningkat 18,07 % selama 5 tahun dari 66,28 % pada tahun 2009 menjadi 84,35 % pada tahun 2014 atau meningkat 3,61 % per tahun.

Tabel berikut menunjukkan angka yang lebih detail :

Tahun    Jumlah Rumah Tangga    Jumlah Pelanggan Rumah Tangga    Rasio Elektrifikasi
(%)

2009                   58.194.473                          38.573.465                                   66,28
2010                   59.118.900                          39.696.415                                   67,15
2011                   62.092.031                          45.294.035                                   72,95
2012                   62.992.725                          48.229.930                                   76,56
2013                   64.204.615                          51.688.927                                   80,51
2014                   64.835.092                          54.690.431                                   84,35
Sumber : Statistik Ketenagalistrikan, DJK KESDM, 2014

Jika trend tersebut terus berlanjut, maka jenis sumber energi yang dipakai selama ini tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan untuk menggerakkan turbin pembangkit tenaga listrik. Apalagi ketersediaan bahan bakar minyak kita semakin terbatas. Oleh sebab itu perlu dicari sumber energi lain, terutama sumber energi baru dan/atau terbarukan (EBT).

Sebenarnya sumber energi terbarukan yang kita miliki cukup berlimpah, namun sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan. Misalnya panas bumi, angin, matahari, biofuel, biomassa, gelombang laut dan pasang surut. Sampai kini kontribusi sumber EBT sebagai sumber energi nasional, masih kurang dari 10%. Dari kontribusi yang kurang dari 10% tersebut, tenaga air merupakan yang terbanyak menyumbang energi nasional, diikuti oleh panas bumi. Sedangkan yang lainnya bisa dikatakan belum termanfaatkan. Sementara 90% dari sumber energi kita masih mengandalkan minyak, gas dan batubara, dimana produksi minyak kita sudah tidak bisa lagi diandalkan untuk menenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.

Ke depan kita perlu memaksimalkan pemanfaatan EBT. Permasalahannya, nilai investasi untuk membangun pembangkit listrik dengan tenaga EBT relatif mahal, sehingga dinilai tidak ekonomis jika tidak ada kebijakan khusus dari Pemerintah.

Kebijakan Pemerintah

Pasal 1 angka 4 Undang-undang nomor 30 tahun 2007 tentang Energi menyebutkan bahwa  sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), dan batubara tergaskan (gasified coal).

Selanjutnya dalam pasal 20 dinyatakan bahwa : (1) Daerah penghasil sumber energi mendapat prioritas untuk memperoleh energi dari sumber energi setempat. (2) Penyediaan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (3) Penyediaan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang dilakukan o!eh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonorniannya.

Pasal 9 Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menargetkan EBT sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Sebagian kontribusi EBT tersebut juga bisa berasal dari nuklir, karena nuklir merupakan salah satu sumber energi baru, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang nomor 30 tahun 2007.

Namun, Pasal 11 Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional telah membatasi pemanfaatan sumber energi nuklir. Pasal tersebut menyatakan bahwa energi nuklir dimanfaatkan dengan mempertimbangan keamanan pasokan energi nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon dan tetap mendahulukan potensi energi baru dan energi terbarukan sesuai nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat.

Sampai saat ini, manurut Kepala Batan Djarot Sulistio Wisnubroto di sela-sela acara konferensi internasional South Pacific Environmental Radioactivity Assosiation (SPERA) di Denpasar (5/9/2016) bahwa peraturan perundang-undangan kita belum mengizinkan untuk melakukan eksploitasi secara komersial. Dalam arti, belum ada peraturan perundang-undangan yang menyatakan secara eksplisit bahwa investor bisa mengeksplorasi uranium tersebut.

Meskipun potensi uranium di Indonesia mencapai 78.000 ton yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, terutama di wilayah Kalimantan Barat, Bangka Belitung dan di Mamuju Sulawesi Barat, baru Batan yang diperbolehkan mengambil uranium tersebut. Hal itu pun hanya sebatas untuk penelitian saja, seperti penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi (Kompas.com, 5/9/2016)

Selain peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, regulasi yang mengatur tentang pengembangan energi berbasis nuklir antara lain tertuang dalam (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2012 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalansi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir; (3) Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2012 tentang Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir; dan (4) Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Disamping itu, dalam RPJM Tahun 2015-2019 juga telah mengamanatkan pemanfaatan energi nuklir.

Pemanfaatan PLTN

Nuklir adalah energi yang bersih, tanpa menghasilkan polusi udara. Hal ini akan mendukung upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, dengan target penurunan emisi 41% atau 61,7 juta ton CO2 sampai tahun 2030.

Majalah Nutech, Edisi 1 Tahun 2014 menyatakan bahwa Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) sebagai lembaga pelaksana mempunyai tugas dalam penelitian dan pengembangan tenaga nuklir dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir untuk keselamatan, ketenteraman, dan kesejahteraan rakyat. Batan sejauh ini telah melakukan berbagai studi dan sosialisasi terkait persiapan pembangunan PLTN komersial dalam rangka memperkuat posisi infrastruktur nasional sebagai pemangku kepentingan. Batan dapat melakukan pembangunan, pengoperasian dan komisioning reaktor daya non komersial, termasuk reaktor daya eksperimental (RDE).

Sedangkan penyediaan listrik yang memanfaatkan teknologi nuklir secara komersial dilakukan oleh pihak swasta, BUMN maupun koperasi. Dalam pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkitan listrik komersial, Batan berperan penting sebagai organisasi pendukung teknis, bukan sebagai operator.

Pada saat ini Batan merencanakan pembangunan RDE dengan daya antara 2,5-10 MWe atau setara dengan 10-30 MW thermal di Serpong Tangerang. RDE ini merupakan hilirisasi dari penelitian Batan dalam sektor energi selama lebih dari 20 tahun. Listrik yang dihasilkan RDE ini dapat digunakan untuk memenuhi sebagian kebutuhan listrik Batan dan pengembangannya ke depan terutama untuk laboratorium terpadu EBT.

Kepala Batan memproyeksikan bahwa nuklir akan masuk ke dalam sistem kelistrikan Jawa Madura Bali (Jamali) pada tahun 2027 sebesar 2.000 MW (2×1.000 MW) dan bertambah sampai tahun 2050 sebesar 12.000 MW. Untuk wilayah Sumatera sebesar 2.000 MW (2031) menjadi 8.000 MW (2050). Untuk wilayah Kalimantan 100 MW (2031) menjadi 800 MW (2050).

Persoalan utama dalam membangun PLTN adalah penerimaan masyarakat (public acceptance). Yang ditakutkan masyarakat awam adalah bahaya radiasi pengion. Padahal, menurut Kepala Batan, dalam setiap pembangunan PLTN wajib mempertimbangkan keselamatan pekerja, masyarakat dan lingkungan melalui peningkatan standar keselamatan dan keamanannya, sesuai dengan prinsip defense in depth, sehingga zat radioaktif yang dihasilkan reaktor dijamin tidak terlepas ke lingkungan, baik selama operasi normal maupun jika terjadi kecelakaan.

Ketika penulis beserta rombongan dari Sekretariat Kabinet mengunjungi reaktor serba guna Siwabessy di Batan Serpong pada tanggal 30 Desember 2015 yang lalu, sangat terkesan dengan pengamanan keselamatannya. Setelah keluar dari ruang reaktor, semua pengunjung dan pegawai (tanpa kecuali) diperiksa apakah terkena dampak radiasi. Rombongan penulis pun juga diperiksa sesuai prosedur tetap yang berlaku. Dari pengalaman tersebut, semua pengunjung dan pegawai tidak ada yang terkena radiasi. Untuk antisipasi, di ruang sebelah reaktor telah disediakan ruangan untuk membersihkan radiasi seandainya ada pengunjung atau pegawai yang terkena radiasi. Jadi, siapapun yang baru keluar dari bangunan reaktor pasti sudah bebas dari radiasi nuklir.

Jejak pendapat pada tahun 2013, menurut Kepala Batan, menunjukkan bahwa secara nasional 60,4% masyarakat setuju dengan pembangunan PLTN. Bahkan Patrick Moore (Mantan Direktur Greenpeace) yang dulu menentang PLTN, kini menjadi pendukung energi nuklir. Salah satu alasannya adalah hanya energi nuklir yang paling mungkin menjadi sumber energi alternatif pengganti batubara yang polusinya besar.

Menurut Moore, ketakutan dan keengganan publik mengejar ‘keuntungan’ dari energi nuklir kerap disebabkan oleh mitos-mitos yang berkembang di seputar nuklir, semisal bahaya radiasi, kemungkinan serangan teroris terhadap PLTN dan mahalnya harga listrik yang dihasilkan dari PLTN. Bukan hanya Moore, tetapi juga sejumlah ilmuan lainnya yang mengubah pandangannya soal PLTN, seperti ilmuan Inggiris James Lovelock, penemu teori Gaia dan Stewart Brand, pendiri Whole Earth Catalog (Majalah Nutech, Edisi 1 Tahun 2014 hal 44-45).

Dari dalam negeri, Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Soetrisno Bachir mengatakan, Indonesia sudah saatnya mengembangkan nuklir sebagai sumber daya energi utama yang dapat menopang ketersediaan dan kebutuhan energi nasional. Sebab, energi nuklir yang dimanfaatkan secara baik dapat menopang industri nasional yang selama ini banyak bergantung pada gas. Disamping itu, Soetrisno juga menekankan bahwa energi sebagai sektor yang penting bagi Indonesia seharusnya menjadi penopang utama pendapatan negara, salah satunya dengan mengembangkan energi nuklir (Kompas.com 26/8/2016).

Hasil kajian Wantannas menunjukkan bahwa PLN membangun pembangkit listrik berdasarkan pertumbuhan kebutuhan listrik daerah secara bertahap. Namun ketika daerah memerlukan pertumbuhan kebutuhan listrik yang tinggi untuk mendukung percepatan realisasi perencanaan pembangunan daerah, maka PLN belum mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Disamping itu, cukup banyak daerah yang mengalami krisis listrik untuk kebutuhan rumah tangga, terlebih lagi ketika pemerintah daerah akan merealisasikan rencana pengembangan industri di wilayahnya. Sampai saat ini masih banyak pengembangan industri terhambat pasokan listrik yang seharusnya terpenuhi secara berkelanjutan sepanjang tahun.

Oleh karena itu, energi Nuklir dapat menjadi sumber energi alternatif yang aman dan efisien bagi masyarakat di tengah keterbatasan energi yang bersumber dari fosil. Hasil survei Sigma Research periode Oktober – Desember 2015 menunjukkan bahwa 75% masyarakat Indonesia percaya PLTN akan menjamin ketersediaan pasokan listrik nasional. Angka ini jauh di atas hasil jejak pendapat pada tahun 2013 yang hanya 60,4% sebagaimana dikemukakan Kepala Batan.

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa energi nuklir memang mampu menghasilkan listrik dalam jumlah besar dengan volume bahan bakar yang kecil. Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi kebutuhan listrik nasional, termasuk kebutuhan listrik untuk industri, dan rasio elektrifikasi bisa mendekati 100% dalam waktu yang tidak terlalu lama. Semoga ! (setkab.go.id)

Komentar