Menyambut Prepcom UN Habitat III

Oleh Lutfil Hakim, praktisi media

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: getimagesize(http://kanalsatu.com/images/20160725-32501_82.gif): failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.0 404 Not Found

Filename: models/post_model.php

Line Number: 248

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: getimagesize(http://kanalsatu.com/images/20160725-32501_821.jpg): failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.0 404 Not Found

Filename: models/post_model.php

Line Number: 248

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: getimagesize(http://kanalsatu.com/images/20160725-33248_39.jpg): failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.0 404 Not Found

Filename: models/post_model.php

Line Number: 248

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: getimagesize(http://kanalsatu.com/images/20160725-33902_0.png): failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.0 404 Not Found

Filename: models/post_model.php

Line Number: 248

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: getimagesize(http://kanalsatu.com/images/20160725-120704_11.jpg): failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.0 404 Not Found

Filename: models/post_model.php

Line Number: 248

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: getimagesize(http://kanalsatu.com/images/20160725-33248_39.gif): failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.0 404 Not Found

Filename: models/post_model.php

Line Number: 248

KANALSATU – Pemerintah Kota Surabaya sedang sibuk mempersiapkan suksesnya pelaksanaan Preparatory Committe (Prepcom) for United Nation Habitat III yang akan berlangsung pada 25 – 27 Juli 2016. Pelaksanaan Prepcom ini merupakan yang ketiga, setelah yang pertama digelar di New York – AS pada 2014 dan di Nairobi – Kenya pada 2015.

Jika semua delegasi dari 193 negara hadir pada international meeting ini, maka akan ada ribuan tamu asing di Kota Pahlawan tersebut. Taruhlah misalnya delegasi satu negara rata-rata beranggotakan 25 orang, maka akan ada 4.825 warga asing ikut bersidang mempersiapkan pematangan konsepsi UN Habitat III yang puncaknya akan digelar di Quito – Ecuador sebelum akhir 2016.

Wajar saja jika Pemkot Surabaya sibuk mempersolek kota untuk kehadiran ribuan tamu asing. Namun, yang harus diingat, bahwa Prepcom UN Habitat III bukanlah momentum wisata. Ini adalah momen penting untuk kesepakatan konsepsi mengenai penataan permukiman di perkotaan. UN Habitat, bagian dari PBB, bertugas melakukan proses transformasi kawasan perkotaan menjadi lingkungan pemukiman yang lebih baik dan ideal.

Boleh saja menjamu tamu asing sebaik mungkin dengan mempercantik kota. Namun jauh lebih penting dari itu adalah spirit penataan permukiman perkotaan secara ideal – yang akan menjadi bahasan utama Prepcom, harusnya sudah mulai ramai didiskusikan sampai pada tataran teknis untuk dilaksanakan. Bukan hanya oleh Kota Surabaya, tapi spirit itu seharusnya disosialisasikan kepada kota-kota besar lainnya di Indonesia – menjelang Prepcom ketiga UN Habitat III digelar di Indonesia (Surabaya).

Problematika masyarakat perkotaan khususnya yang terkait dengan permukiman bervariasi ragamnya di seluruh dunia. Namun jika di zooming secara lebih khusus ke negara-negara sedang berkembang (under development countries) -, isu masalah perkotaan selama ini lebih tertuju kepada kawasan – kawasan kumuh (slum area). 

Bagaimana strategi mengelola kota sehingga tidak terjadi menumpukan (perluasan) slum area adalah thema penting yang seharusnya didiskusikan menjelang Prepcom ketiga ini dilaksanakan. Ini bagian dari spirit. Menjadi Tuan Rumah Prepcom UN Habitat tanggung-jawabnya tidak ringan. Bukan hanya bagaimana hajatan internasional itu berlangsung sukses, tapi juga ada contoh-contoh kongkrit yang sudah dan akan dilakukan oleh Kota Surabaya terkait dengan spirit UN Habitat III itu sendiri.

Permukiman secara ideal bukan hanya bermakna tidak kumuh, tapi lebih dari itu benar-benar bisa mengangkat derajat mausia penghuninya. Artinya bukan hanya berkutat soal sanitasi dan kebersihan lingkungan, tapi juga soal keadilan dalam mendapatkan akses transportasi, akses distribusi air bersih, layanan keamanan dan kesehatan,  akses energi (listrik dan gas rumah tangga), keadilan dalam akses distribusi lahan permukiman, serta kepastian hukum kepemilikan aset lahan dan bangunan tempatnya bermukim.

Amandemen UUD 1945 pasal 28 H pun sudah mengamanatkan  bahwa permukiman (hunian/rumah) yang sehat adalah salah satu hak dasar rakyat yang wajib dijamin oleh pemerintah. Meski subyek hukum atas amanat ini adalah warga itu sendiri dalam menyelenggarakan hunian atau permukiman, tapi government harus berada di posisi sebagai backbone bagi terciptanya permukiman yang sehat.

Sebab hunian (permukiman) bukan hanya untuk  tempat berteduh sebuah keluarga, tapi lebih dari itu adalah tempat terpenting dalam membesarkan generasi masa depan. Jika ana-anak dari sebuah keluarga belajar di sekolah-sekolah favorit, namun tinggalnya di lingkungan permukiman yang tidak sehat, maka akan jauh api dari panggang kemungkinan tumbuhnya anak-anak yang sehat secara phisik dan psikis.

Problematika permukiman di perkotaan memang tidak berdiri sendiri. Kondisi itu sistemik atau bagian (sub-sistem) dari kondisi yang lebih luas. Derasnya arus  urbanisasi ke kota-kota industri akibat cekaknya ketersediaan pekerjaan di daerah-daerah tertinggal, merupakan salah satu fakta pendorong tumbuhnya kawasan-kawasan hunian yang kurang ideal – yang pada ujungnya menjadi problem perkotaan. Baik terkait distribusi air dan sanitasi dasar maupun fasilitas layanan lainnya.

Sementara penguasaan aset lahan perumahan menjadi tidak berkeadilan karena sistem yang berlaku di Indonesia adalah pasar bebas. Kondisi ini mendorong harga lahan di kota-kota besar seperti di Surabaya menjadi sangat mahal, bahkan bisa berkali-lipat di atas NJOP. Kondisi ini mendorong developer hanya membangun rumah mewah karena bahan baku (tanah) sudah mahal. Akibatnya, ketersediaan rumah sederhana (RS dan RSS) bagi masyarakat menengah-bawah makin hari makin sempit dan nyaris tidak tersisa. 

slums area yang menjadi perhatian UN Habitat

Kawasan perumahan di kota akhirnya hanya dimiliki oleh orang-orang kaya, sementara masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) makin tidak berkesempatan memiliki rumah di perkotaan karena pasok rumah kelas itu memang sudah tiada. 

Kondisi inilah yang mendorong sebagian besar warga tinggal di kampung-kampung perkotaan dengan status sewa atau kos. Tidak ada jaminan untuk menetap lebih lama karena harus berpindah-pindah kontrakan atau pindah kos sesuai dengan dinamika pendapatan dan kebutuhannya. Fluktuasi kehidupan yang demikian sangat berpengaruh negatif terhadap perkembangan sosial anak dan keluarga.

Bagi keluarga baru (rumahtangga) yang mulai mampu membeli atau membangun unit rumah harus bergeser ke lokasi pinggiran kota. Itu pun dengan biaya (harga) yang sudah mahal. Akibatnya, banyak warga yang membeli kaplingan tanah dan membangun rumah secara sporadis.

Pertumbuhan realestate di pinggiran kota pun terjadi secara sporadis – tidak sesuai dengan perencanaan kota, sehingga ujungnya di pinggiran kota menjadi problema tersendiri yang bahkan lebih rumit dari problem yang ada di tengah kota. Baik dari aspek sarana dan prasaranan umum, khususnya transportasi. Tidak sedikit tumbuh kawasan di pinggiran kota yang lalu lintasnya jauh lebih macet dibanding titik-titik kemacetan di tengah kota. Distribusi air dan fasilitas lainnya pun tidak merata, karena tumbuhnya yang sporadis. Ujungnya problem sosial yang bermunculan.
Kondisi seperti itu tidak hanya di Indonesia, di hampir kota besar di negara berkembang juga terjadi – di Afrika, Amerika Selatan dan Tengah, Asia Tengah dan Asia Timur.

PBB sendiri melalui UN Habitat memprediksi pada 2030 terdapat sekitar tiga (3) miliar orang atau sekitar 40% dari populasi dunia yang akan membutuhkan perumahan layak, yakni perumahan yang tercukupi segala kebutuhan dasarnya – terutama transportasi, sistem air dan sanitasi dasar. 
Menurut catatan PBB, sedikitnya terdapat 120.000 tambahan penduduk per hari ke populasi kota-kota di Asia, sehingga membutuhkan puluhan ribu hunian baru per tahun beserta infrastrukturnya.  Ini akan menjadi problem berat karena ketidak-mampuan pengelola perkotaan dalam mengantisipasi pertambahan penduduk. 

Di tengah terbatasnya panjang jalan di perkotaan, dengan rekayasa lalu-lintas model apapun, ledakan jumlah kendaraan akibat ledakan penduduk, kian rumit mengurai kemacetan. Apalagi jika Pemerintah setempat hanya berpikir tentang target pendapatan pajak kendaraan bermotor tapi tidak berpikir tentang penambahan panjang jalan. Itulah wajah kengerian kehidupan perkotaan di masa mendatang. Bukan hanya di kota besar, tapi sudah mulai merambah ke kota-kota satelit sekitarnya.

Peran Developer

Permukiman yang relatif ideal sementara ini bisa diwakilkan kepada hunian di perumahan berskala kawasan. Karena sarana dan prasarana umum relatif lebih tersedia. Hanya saja, untuk mendapatkan rumah di kawasan realestate, kini kian jauh api dari panggang. Pasok unit rumah di pasaran setiap tahunnya cenderung berkurang. Sehingga disparitas angka backlog (rasio target dan realisasi) pembangunan perumahan kian lebar menganga. 

Di sinilah peran pemerintah dituntut lebih besar – sesuai amanat UUD 1945. Peran dan fungsi pemerintah seharusnya tidak hanya terpaku pada besaran alokasi dana PSU untuk supporting tumbuhnya sektor perumahan, tapi juga dituntut jeli dan tepat dalam mengeluarkan kebijakan. Dan yang paling penting adalah memahami posisi tanggung-jawabnya.

Tanggung-jawab pemerintah tentu berbeda dengan tanggung-jawab pengembang. Domain peran dan fungsinya jelas berbeda. Jangan kemudian yang seharusnya menjadi beban pemerintah seolah menjadi tanggung-jawab swasta pengembang. Sebab banyak regulasi & kebijakan, terutama di daerah, yang memunculkan persepsi keliru di mata masyarakat. 

Bahkan tidak sedikit kepala daerah (bupati/walikota) yang bukan hanya tidak mampu memahami peran dan fungsi sektor realestate terhadap pembangunan permukiman yang notabene berdampak perkembangan perekonomian di wilayahnya, tapi justru terkesan merepotkan posisi swasta pengembang dalam berpartisipasi membangun realestate. Misalnya mempersulit perizinan.

Besarnya uang kutipan untuk terbitnya izin lokasi dan izin prinsip kawasan realestate jelas mempersulit posisi pengembang. Bupati/Walikota tidak berpikir bahwa pengembang sejatinya adalah membantu tugas kepala daerah dalam pemenuhan hak dasar warganya atas rumah tinggal di kawasan ideal, tapi justru semata dilihat sebagai pedagang unit rumah yang harus “dimintai sokongan secara ilegal”.

Sejumlah isu lainnya masih bergelayut membayangi lambannya perkembangan permukiman skala realestate di perkotaan, diantaranya terkait konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak pada suatu kelompok dalam pembangunan perumahan. Serta lambannya kebijakan penyesuaian tata-ruang dan pengembangan wilayah permukiman menyusul ledakan penduduk.

Selain aspek terbatasnya keresediaan tanah dan prasarana, problema sektor perumahan lainnya adalah aspek pembiayaan dan lambannya perangkat kelembagaan di bidang perumahan. Masalah ini penting untuk di perdalam diskusinya di Prepcom UN Habitat III di Surabaya.

Mengelola perusahaan realetate memang tidak mudah di tengah tidak pahamnya tanggungjawab kepala daerah. Belum lagi menghadapi fakta liarnya tren harga tanah. Pemerintah tidak mampu mengendalikan harga tanah sehingga penyedia perumahan kesulitan mengkonsolidasi bisnisnya. Belum lagi rendahnya dukungan sektor pembiayaan. Dalam kondisi yang sedemikian rumit, masih saja ada pihak yang justru mempersulit perizinan.

Pengusaha properti papan atas di  AS yang kini Capres dari Partai Republik Donald Trump juga mengakui rumitnya mengelola sektor perumahan dan properti. Butuh kreativitas dan seni.  “It’s tangible, it’s solid, it’s beautiful. It’s artistic, from my standpoint, and I just love real estate,” kata Donald Trump. Dia menyebut realestate sebagai bidang yang memerlukan kreativitas dan daya seni: “it’s beautiful, it’s artistic,” kata Trump.

slums area

Padahal, peran penting sektor properti bukan hanya pada pembangunan permukiman yang layak, tapi juga berperan positif terhadap perekonomian. Kendati secara kontribusi dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) dan produk domestik regional bruto (PDRB) tidak terlalu mencolok, tapi sektor ini berkelindan dengan berbagai sektor ekonomi alias mempunyai backward-forward linkage yang kuat, dari hulu sampai hilir, dari pekerja bangunan sampai eksekutif perbankan. 

Multiplier effect sektor properti dan realestate jauh lebih dahsyat. Kawasan perumahan yang dibangun oleh pengembang selalu menjadi pertumbuhan ekonomi baru.  Ruko – ruko ikut dibangun dan terisi oleh aneka kegiatan bisnis;  ada minimarket, restauran, salon, bengkel, dan lainnya. Di sekitar komplek juga tumbuh sektor informal seperti warung nasi, penjual gorengan, tukang buah, jasa ojek, dan lain-lain. 

Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru tersebut memberi kontribusi cukup besar terhadap penerimaan  negara melalui PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PBB (Pajak Bumi Bangunan).  Tanah yang dulu hanya  puluhan ribu rupiah per meter tersulap menjadi bernilai jutaan rupiah.

Hanya saja, problem pembiayaan masih menjadi salah satu penghambat bagi proses percepatan pembangunan perumahan – sehingga angka backlog kian tinggi. Sumber pembiayaan realestate sejauh ini sebagian besar masih mengandalkan perbankan.

Kebijakan pemerintah terkait pembiayaan perumahan, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diberikan bantuan berupa subsidi – namun nilainya tidak besar melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) – yang dilekatkan kepada KPR bank - sehingga output-nya menjadi suku bunga KPR murah yakni 7,25%. Namun, kebijakan FLPP kini sudah dihapuskan, dialihkan sebagai subsidi ke pembelian rumah susun.

Pada posisi sebagian masyarakat bawah mulai naik mendekati level MBR, dan mulai merencanakan membeli rumah tapak, tapi akses ke FLPP justru diputus. Mereka tidak bisa memanfaatkan FLPP karena di daerahnya tidak ada pembangunan rumah susun. Ini soal kesalahan kebijakan.

Sedangkan MBR di perkotaan – yang nantinya akan mendapatkan FLPP untuk membeli rumah susun, tetap tidak mampu menjangkau karena harga rumah susun jauh lebih mahal dari rumah tapak. Selain belum terbiasa tinggal di rumah susun, sehingga banyak bangunan rusun yang bakal tidak terserap pasar.

Dari sini kelihatan bahwa sektor perumahan bakal makin kabur arahnya. Seharusnya pemerintah mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk sharing modal keperluan pembelian perumahan rakyat. Selain amanat UU 1945 telah membebankan tugas sektor itu kepada pemerintah, sektor perumahan – faktanya -- juga bisa menjadi stimulir bagi berkembangnya ekonomi baru. Problem pembiayaan seperti ini menjadi masalah di hampir semua negara berkembang dalam konteks pembangunan permukiman ideal. Sehingga aspek pembiayaan ini (dan aspek pendukung realestate lainnya) yang perlu dimatangkan diskusinya pada Prepcom UN Habitat III di Surabaya untuk kemudian diusung ke puncak pertemuan UN Habitat III di  Quito – Ecuador sebelum akhir 2016. Semoga bermanfaat. (LH)

Komentar