Urgensi penguatan jasa pelayaran nasional

Wawancara Khusus Lukman Ladjoni, Penasehat DPP INSA

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: getimagesize(http://kanalsatu.com/images/20160221-183958_58.jpg): failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.0 404 Not Found

Filename: models/post_model.php

Line Number: 248

KANALSATU - Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan laut terluas dan memiliki sejumlah selat internasional, visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim dinilai sangat tepat dan disambut baik oleh masyarakat luas, termasuk oleh kalangan pelaku usaha jasa pelayaran.

Istilah Tol Laut yang sering disampaikan Presiden Jokowi juga dinilai strategis, karena asumsinya bakal (akan) banyak kebijakan terkait sektor transportasi laut, khususnya penguatan industri jasa pelayaran yang nota-bene selama ini sudah menjadi semacam “sarana tol laut” dalam jasa pengangkutan dan pergerakan barang - barang ekonom. 

Namun, sejauhmana arah kebijakan “Pemerintahan Kabinet Kerja” dalam menjalankan gagasan tersebut, terutama kerangka mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim, serta penguatan sektor transportasi dengan gagasan Tol Laut, berikut wawancara dengan: LUKMAN LADJONI, salah satu praktisi usaha di bidang industri jasa pelayaran nasional, yang juga Penasehat DPP INSA. Berikut petikannya: 

Lukman Ladjoni

Apakah arah kebijakan pemerintah sudah linear dengan ruh gagasan soal Poros Maritim dan Tol Laut ?

Terlalu dini untuk menjawab pertanyaan tersebut.  Memang, sejauh ini sudah banyak terobosan program dan kebijakan yang dilakukan Pemerintah –
 dalam menguatkan sektor pelayaran – sebagai salah satu backbone terpenting Poros Maritim. Hanya saja perlu ada semacam skala prioritas dalam memilih kebijakan, agar diperoleh hasil efektif –  yang linear dengan gagasan awal.

Sejauh ini kebijakan yang banyak digulirkan Kementerian Perhubungan cq Ditjen Perhubungan Laut nampaknya kurang memperhatikan aspek priority, sehingga banyak persoalan yang seharusnya menjadi prioritas justru nyaris tidak tersentuh. Bahkan tidak jarang produk kebijakan dan pilihan program Kemenhub – justru dirasa menjadi “penghambat”  sektor pelayaran.

Yang dimaksudkan penguatan sektor pelayaran, sejauh ini arahnya kurang jelas. Sederet persoalan menahun yang selama ini menjadi “belenggu” bagi sektor pelayaran - justru tidak disentuh sama sekali.  Akibatnya sistem logistik nasional yang ditargetkan bisa tercipta secara efektif dan efisien, kian hari kian jauh api dari panggang, yang dicita-citakan kian menjadi awang-awang.

Apakah Kemenhub kurang menjalin komunikasi, sehingga aspirasi pelaku usaha dirasa kurang terakomodir ?

Konsep dan aplikasi penguatan Poros Maritim, khususnya sektor Pelayaran – selama ini banyak diterjemahkan sendiri oleh regulator – tanpa membangun komunikasi dan meminta masukan dari pelaku usaha pelayaran. Sehingga segudang problematika yang banyak dihadapi di lapangan nyaris tidak terwujud dalam program maupun kebijakan yang ditelorkan Kemenhub.

Nah, biasnya pilihan kebijakan itu sangat disayangkan di tengah bergeloranya semangat Presiden Jokowi menguatkan Poros Maritim Indonesia. Kondisi ambivalen inilah yang kemudian mendorong  sejumlah pelaku usaha untuk pandai-pandai mencari celah, terobosan, dan akses komunikasi ke pemerintah agar kebijakan yang diambil hendaknya dikaji terlebih dahulu.

Perlu ada semacam kesamaan visi antara regulator dan pelaku usaha dalam memaknai istilah Tol Laut dan Poros Maritim dari sisi sektor pelayaran. Sehingga kebijakan yang ditelorkan oleh Kementerian Perhubungan bisa sejalan dengan fakta persoalan yang ada. Bukan sekedar mengubah dan menerbitkan peraturan baru. Begitu juga program – program yang dikembangkan, agar dicapai kesamaan manfaat dalam kerangka penguatan Poros Maritim.

Kebijakan apa misalnya ?

Misalnya, rencana Menteri Perhubungan akan mengubah 17 Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) menjadi Badan Layanan Umum (BLU) – yang diklaim oleh Menhub Ignasius Jonan bisa mewujudkan konsep tol laut.  Jika penguatan Tol Laut hanya dimaknai dengan menambah jumlah pelabuhan, ini menunjukkan bahwa pilihan kebijakan dan program Kemenhub tidak memperhatikan aspek prioritas. 

Karena sebenarnya masih banyak persoalan yang selama  ini membelenggu industri jasa pelayaran – yang urgen untuk dicarikan solusi. Istilah Tol Laut dan Poros Maritim hendaknya tidak dimaknai secara sederhana. Menambah dan menaikkan status pelabuhan akan menjadi sia-sia, jika persoalan yang ada di wilayah pelabuhan itu sendiri tidak pernah diselesaikan.

Banyak persoalan terkait transportasi laut yang perlu segera ditangani. Mulai dari aspek sumberdaya manusia (SDM) hingga masalah fasilitas, pelayanan, dan birokrasi. Program-program yang bersifat phisisk, seperti penambahan jumlah kapal, atau peningkatan dan penambahan jumlah pelabuhan, hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan.

SDM birokrasi seperti apa yang diinginkan?

Kami membutuhkan SDM birokrasi yang memahami posisi usaha pelayaran. Fungsi pegawasan dan regulator di sini hendaknya diartikan sebagai fungsi pelayanan dan pembinaan. Bukan fungsi “menakut-nakuti” dan “mencari-cari kesalahan” dan jauh dari ukuran ideal pelayanan.

Jika penambahan pelabuhan dan status BLU, misalnya, tidak diikuti perubahan mental dan budaya kerja di masing-masing unit, maka yang terjadi nantinya bukan kualitas layanan yang diutamakan, tapi target pendapatan (PNBP) yang dikejar. Ujung-ujungnya justru akan menjadi beban dan persoalan bagi usaha pelayaran. 

Terutama SDM yang ada di Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Kinerja mereka harusnya berbasis profesionalitas dan kualitas pelayanan. Penunjukan pejabat KSOP harus mempertimbangkan aspek kompetensi dan leadership. Selain itu, level pimpinan di KSOP hendaknya tidak mudah diganti. Selama kepemimpinan Menhub Ignasius Jonan, terkesan seringkali terjadi bongkar-pasang pejabat KSOP. Padahal proses pembinaan dan pelayanan membutuhkan waktu cukup, agar bisa lebih memahami persoalan yang dihadapi pihak penyedia jasa pelayaran.

Pada dasarnya, aspek SDM di seluruh elemen – baik yang ada pelabuhan maupun di KSOP, hendaknya mengutamakan aspek pelayanan dan sikap rasionalitas agar pihak penyedia jasa pelayaran bisa bekerja secara efektif dan efisien. Spiritnya hanya satu, yakni menciptakan sistem logistik nasional yang berdaya saing. Ini penting dalam memperkokoh sektor pelayaran nasional. Selama ini mereka cenderung mempersulit dan mencari-cari kesalahan pelayaran. Belum lagi upaya-upaya sertifikasi yang diwajibkan kepada pelayaran, yang semuanya berkonsekwensi biaya. Perpanjangan dokumen kapal, misalnya, terkadang dicari-cari kesalahannya. Namun toh ujungnya bisa diselesaikan secara berunding. 

Beban berat apa saja yang dirasakan kalangan pelayaran ?

Selama ini pelaku usaha banyak menanggung (beban) biaya akibat tidak adanya prioritas kebijakan dalam menyelesaikan aneka persoalan. Misalnya soal dwelling time yang memakan waktu berhari-hari, Terminal Handling Charge (THC) dan antrian pemeriksaan Bea & Cukai yang memakan waktu lama. Semua keterlambatan itu berkonsekwensi biaya yang menjadi beban pengusaha pelayaran.

Aneka persoalan bukan hanya di wilayah pelabuhan yang ada di darat, yakni proses naik barang ke kapal dan turun barang hingga depo peti kemas, tapi sederet persoalan juga ada di wilayah perairan (laut)– khususnya yang terkait dengan pelayanan. Mulai dari antrian sandar kapal, pengurusan dokumen kapal, pengurusan SPB (surat persetujuan berlayar) yang umumnya memakan waktu lama. Kualitas SDM dan minimnya fasilitas dermaga yang menjadikan proses menjadi lama. Dan itu semua berdampak pada biaya dan waktu yang ditanggung pengusaha, baik biaya BBM, operasional, maupun akomodasi ABK.  

Pelayaran tidak minta di-istimewakan, tapi hanya ingin dilayani secara proporsional. Karena jasa pelayaran adalah tonggak bagi semuanya. Selain itu pelayaran juga banyak mengeluarkan biaya, seperti biaya untuk tambat, jasa labuh, jasa pandu, jasa rambu, dan jasa lainnya. Namun di sisi lain pelayaran tidak mendapatkan layanan yang proporsional. Bahkan tidak jarang menjadi korban kesewenang-wenangan “oknum” di KSOP. Misalnya, tiba-tiba kapal kita yang sedang sandar disuruh pindah tanpa alasan yang masuk akal, dan lainnya.

Pada proses yang demikian ribet, tidak rasional, dan berbasis biaya, bagaimana mungkin bisa tercipta sistem logistik nasional yang efektif dan efisien. Apalagi sekarang kita sudah memasuki economic borderless community di regional ASEAN (AEC/MEA) – yang tentu dibutuhkan daya kompetisi yang kuat melawan pelaku pelayaran asing.

Sejauhmana dampaknya jika pelayanan lambat ?

Ketika kapal sudah telat dari schedule-nya karena lambannya layanan, maka akan ada biaya tambahan yang timbul – seperti harus berlayar lebih cepat sehingga membutuhkan fuel yang lebih banyak (speed up to the next port). Ini pelayanan pelabuhan dan KSOP yang bertele-tele, tapi pelayaran yang terkena dampaknya. Padahal beban itu juga bagian dari logistic cost. Beban waktu dan berdampak biaya juga terjadi manakala kapal tertahan oleh Airut. Semua proses yang bertele – tele itu berkonsekwensi kepada biaya – sehingga daya saing perusahaan pelayaran nasional makin lemah. 

Beban biaya (day operation cost/DOC) yang harus ditanggung pelayaran bisa mencapai Rp40 juta per hari untuk kapal kargo 6000 DWT. Padahal kapal berbobot segitu hanya mampu mengangkut 180 box (20 feed). Sementara ongkos angkuat hanya Rp2 juta per box (180 box x Rp2 juta = Rp360 juta). Bayangkan kalau dalam setiap dua bulan, misalnya, hanya tiga kali freight line, maka perolehan pelayaran hanya Rp1,1 miliar (3 kali freight line x Rp360 juta = Rp1,1 miliar). Sedangkan biaya dua bulan kapal di air mencapai Rp2,4 miliar (60 hari x Rp40 juta = Rp2,4 miliar). Sekitar 20% biaya itu untuk jasa pelabuhan dan syahbandar. Sisanya untuk biaya BBM, operasional, maupun akomodasi ABK.  

Kalau 50% modal perusahaan pelayaran  berasal dari pinjaman bank, maka sebentar saja perusahaan itu akan tutup. Belum lagi biaya – biaya rutin yang harus dikeluarkan perusahaan pelayaran seperti biaya pemeliharaan dan doking (ship repair in dry dock). 

Dalam kondisi yang demikian, apakah masih relevan berdiskusi soal spirit Poros Maritim, Tol Laut, dan Sistem Logistik massal yang efektif dan efisien. Harusnya sederet persoalan tersebut yang dijadikan prioritas oleh Kemenhub untuk diselesaikan. 

Jadi program penambahan pelabuhan dan pengadaan kapal oleh Kemenhub tidak penting ?

Semua penting. Tapi harus ada prioritas, mana dulu yang harus dilakukan. Penguatan pelayaran tidak hanya bermakna menambah jumlah kapal sebanyak-banyaknya seperti yang dilakukan Kemenhub. Jumlah kapal kita kini sekitar 12.000 unit, dan itu cukup bagi perairan laut Indonesia. Bahkan tadinya ada 14.000 unit. Tapi mereka gulung tikar akibat banyaknya persoalan yang tidak rasional yang ujungnya menjadi beban perusahaan pelayaran.
Rasio antara jumlah kapal dan panjang dermaga di seluruh pelabuhan sangat tidak sebanding. Dari sinilah persoalan kelambatan itu muncul – terlebih adanya faktor mental dan budaya kerja SDM pelabuhan dan KSOP yang tidak kondusif. Semua itu berkonsekwensi biaya yang menjadi beban pengusaha. 

Belum lagi soal sertifikat kapal terkait limbah, padahal di pelabuhan tidak disediakan fasilitas pembuang limbah. Lantas buat apa ada sertifikat tersebut. Juga kewajiban memiliki sertfikat IMO untuk semua kapal. Harusnya sertifikat semacam itu hanya untuk jenis kapal ocean going, sedangkan bagi kapal pelayaran intersuler (dalam negeri) tidak perlu. Karena semua kebijakan sertifikasi ini berkonsekwensi biaya.

Jadi, semacam salah kebijakan, begitu ?

Kami tidak menyalahkan. Tapi harus ada prioritas kebijakan. Jangan hanya mengandalkan anggaran untuk terserapnya proyek. Sementara yang krusial yang nota-bene jadi belenggu justru dibiarkan.

Sebab, dari beban – beban persoalan tersebut menjadikan perusahaan pelayaran nasional tidak efisien. Bahkan sudah 2000-an kapal yang telah berhenti beroperasi, dan dijual setelah dipotong-potong. Itu pilihan pahit. 

Bagi 12,000 kapal yang masih beroperasi, sederet persoalan beban tadi menjadikan daya saing lemah, kartena tarif angkut yang diberlakukan menjadi sangat mahal. Makin berat menghadapi pelayaran asing.

Contoh, pelayaran China menawarkan ongkos angkut kontainer 20 feet rute China - Indonesia hanya US$200 per box (sekitar Rp3 juta). Sedangkan pelayaran nasional, untuk rute Jakarta – Papua saja menerapkan ongkos angkut Rp8 juta hingga Rp12 juta. 

China (Tiongkok) adalah negara yang bisa membangun daya saing jasa pelayaran dalam negerinya. Sedangkan di Indonesia, kehadiran negara justru acab dirasakan sebagai pihak yang “memperlemah” sektor pelayaran.

Besarnya anggaran negara untuk transportasi laut lebih diarahkan ke serapan proyek, bukan kepada penguatan sistem yang selama bertahun-tahun telah membelenggu. Misalnya Kemenhub melakukan pengadaan kapal hingga 128 unit, apa urgensinya. Kapal kita banyak. Yang tidak banyak adalah panjang dermaga dan fasilitas pelabuhan. 

Berarti penguatan "sistem" yang harus didahulukan ?

Betul. Kemenhub harus lebih cermat dalam memilih prioritas kebijakan, jika menginginkan makna Tol Laut dan Poros Maritim bisa terwujud nyata. Pelayaran itu adalah infrastruktur di laut. Tol Laut itu ya pelayaran itu sendiri. Maka itu penguatan terhadap pelayaran nasional urgen dilakukan. 

Prioritas kebijakan dan anggaran harus diarahkan untuk mempercepat terciptanya efisiensi pelayaran. Misalnya memperpanjang dermaga sehingga sandar kapal bisa lebih cepat. Porses pengurusan dokumen kapal dicarikan format yang ringkas, cepat dan akurat. Kinerja KSOP juga diarahkan kepada aspek pelayanan dan pembinaan, bukan hanya bermakna pengaturan dan pengawasan.

Besaran anggaran pemerintah harusnya difokuskan untuk keperluan memangkas poin-poin hambatan tersebut. Bukan malah memperbesar nilai subsidi PSO kepada PT Pelni. BUMN ini sudah banyak mendapat subsidi, mulai dari subsidi PSO yang nilainya Rp 1 triliun, subsidi keperluan lima kapal Caraka Rp248 miliar, dan subsidi lima kapal perintis Rp27 juta per hari/kapal. Ini kebijakan salah kaprah.

Selain merugikan uang negara, subsidi terhadap PT Pelni sama dengan melemahkan keberadaan pelayaran swasta. Karena Kapal Pelni bisa menawarkan ongkos lebih murah dari tarif umum, karena ada subsidi. Misalnya ongkos freight line Jakarta – Papua, kapal Pelni bisa menawarkan Rp8 juta per box, sementara tarif kapal swasta bisa mencapai Rp 12 juta per box. Ini kan sama saja pemerintah menciptakan persaingan tidak sehat.

Harusnya, alokasi anggaran yang besar diarahkan untuk subsidi operasional pelabuhan. Sehingga operasi pelabuhan bisa lebih efektif dan efisien dan itu manfaatnya bisa dirasakan oleh semua pihak. Ini lebih adil. Maka itu Kemenhub harusnya lebih aktif mengajak INSA dalam setiap menelorkan kebijakan dan program, agar bisa berhasil guna secara efektif.  Jangan hanya mengejar pencitraan, tapi harus melihat fakta, kebutuhan, dan kondisi riil, agar bisa tercipta iklim usaha jasa pelayaran yang sehat, sehingga harapannya bisa terwujud sistem logistik yang efektif dan efisien.

Selain program yang kurang tepat, apa juga ada Peraturan Menhub (PM) yang tidak tepat ?

Ada beberapa Peraturan Menteri (PM) Perhubungan yang bukan hanya tidak tepat, tetapi justru melemahkan keberadaan perusahaan pelayaran nasional. Yang paling baru pada awal 2016 ini, misalnya, terbitnya PM Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Keagenan Kapal. Permen ini telah diundangkan pada 28 Januari 2016 oleh Kementerian Hukum dan HAM. 

PM No.11 TH 2016 ini menjadi kontroversi. Karena memberi ruang sebesar-besarnya kepada “perusahaan keagenan” untuk lebih menguasai hulu – hilir “usaha keagenan kapal”. Selama ini perusahaan keagenan merupakan bagian dari usaha pelayaran, karena UU No.17 TH 2008 tentang Pelayaran mensyaratkan adanya Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL). Jadi perusahaan keagenan selama ini bergantung kepada perusahaan pelayaran.

Tapi dengan PM No.11 TH 2016, kondisinya bisa berbalik, perusahaan keagenan tidak lagi bergantung kepada pemilik SIUPAL. Mereka hanya disyaratkan memiliki Surat Izin Usaha Perusahaan Keagenan Kapal (SIUPKK). Artinya perusahaan keagenan akan lebih kuat posisinya dari perusahaan pelayaran, tanpa harus memiliki kapal. Ini  jelas memperlemah posisi pelayaran, karena selama ini hampir 70%  penghasilan pelayaran berasal dari keagenan.

Berarti PM No.11 TH 2016 menabrak UU No.17 TH 2008 ?

PM ini jelas-jelas melanggar UU No.17 TH 2008 tentang Pelayaran, yakni Pasal 27 yang menyebutkan bahwa pelaku usaha angkutan laut wajib memiliki izin usaha, dan yang dimaksud izin usaha di sini diatur di Pasal 28 – yang poin-poinnya jelas merupakan ranah kewajiban perusahaan pelayaran (pemegang SIUPAL). Bahkan di  Pasal 29 (1) disebutkan, Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) badan usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan ukuran sekurang-kurangnya GT 175 (175 Gross Tonnage). 

Sedangkan pada Pasal 31 (1) disebutkan, Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud, dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan. (2) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa macam-macam, termasuk poin ( j ) yakni perusahaan keagenan kapal.  Artinya jelas,  secara regulasi posisi perusahaan keagenan merupakan sub-sektor dari usaha jasa pelayaran. 

Dengan PM No.11 TH 2016, pada saatnya nanti, sangat mungkin perusahaan pelayaran bergeser berada di bawah perusahaan keagenan. Jika ini yang terjadi maka berakhirlah usaha pelayaran nasional. Sebab PM No.11 ini juga memberi ruang seluas-luasnya kepada perusahaan Keagenan untuk bekerjasama dengan perusahaan (pelayaran) asing, sehingga hal itu berpotensi “mematikan” perusahaan pelayaran nasional. 

Artinya, selain melanggar UU No.17 tentang Pelayaran, Permen (PM No.11 TH 2016) tersebut juga melanggar UUD 1945 – yang pada pembukaannya ada kalimat: “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia”. Artinya negara harus melindungi keberadaan pelayaran nasional.

Namun sesuai PM No.11 TH 2016, persyaratan mendirikan keagenen relatif simpel dibanding pendirian perusahaan pelayaran pemegang SIUPAL. Pada PM No.11, perusahaan keagenan hanya diwajibkan mengurus Surat Izin Usaha Perusahaan Keagenan Kapal (SIUPKK) dan diwajibkan memenuhi modal usaha berupa modal dasar minimal Rp6 miliar dan modal disetor sedikitnya Rp1,5 miliar. 

Apa resiko lain dari adanya PM No.11 TH 2016 ?

Jelas banyak. Misalnya kalau perusahaan keagenan mengandalkan pelayaran asing, lantas siapa yang akan bertanggung-jawab jika misalnya terjadi kecelakaan kapal tenggelam. Selain itu, siapa juga yang akan bertanggung-jawab jika awal kapal asinh itu juga melakukan praktek penyelundupan, misalnya. Siapa yang bertanggung-jawab, apa perusahaan keagenan ?

Menhub Ignasius Jonan boleh saja memiliki perspektif internasional. Apalagi Pak Jonan berlatar-belakang finance internasional, dan beliau sendiri lahir di Singapura. Tapi dalam mengambil kebijakan harusnya mengedepankan nasionalisme, jangan membuka peluang yang besar bagi masuknya penguasaan asing. UU Pelayaran No. 17 TH 2008 sangat menjunjung tinggi kedaulatan negara – sebagaimana termaktub pada Azas dan Tujuan di Bab 2.

Pendiri bangsa ini sudah sadar soal nasionalisme sejak negara yang memiliki wilayah laut luas ini dibentuk. Pada pertemuan National Maritime Convention Tahun 1963, statemen Presiden RI Soekarno sangat jelas menuansakan nasionalisme pelayaran, yakni: “Kalau ingin mensejahterakan rakyat Indonesia, maka kuasailah laut. Untuk menguasai laut maka kuasailah armada,” kata Soekarno.  Nah, kebijakan Menhub Jonan ini justru memberi peluang yang besar atas penguasaan armada pelayaran kepada pihak asing.

Menhub Jonan ini terlalu banyak mengeluarkan kebijakan (PM).  Belum selesai PM sebelumnya yang telah menjadi kontradiksi, sudah mengeluarkan PM baru lagi yang umumnya juga menjadi kontradiksi dan memberatkan usaha pelayaran nasional.

Kalangan pelayaran menerima pemberlakukan PM No.11 TH 2016 ?

Jelas kami (perusahaan pelayaran) tidak terima. Bahkan DPP INSA yang dinahkodai oleh Ibu Karmila Hartoto secara tegas meminta Kemenhub membatalkan PM No.11 TH 2016. Jika tidak dibatalkan, maka INSA akan berupaya membatalkannya melalui Mahkamah Konstitusi. Ini soal hukum dan kewajiban negara melindungi usaha pelayaran nasional.

Melihat mudahnya proses mendapatkan SIUPKK, maka bukan tidak mungkin perusahaan (pelayaran) asing masuk ke Indonesia membuka perusahaan keagenan –melalui pihak ketiga. Sehingga praktek ini bisa menempatkan posisi perusahaan pelayaran nasional semakin lemah.

Selama ini kita sudah banyak kalah dengan asing justru karena regulasi kita sendiri. Lebih dari 60 UU terkait ekonomi-bisnis telah memberi ruang besar kepada penguasaan asing. Di era MEA ini harusnya ada pertahanan terakhir dari pemerintah melalui keberpihakan regulasi kepada pengusaha nasional, termasuk sektor pelayaran. Seperti PM No.11 TH 2016 harusnya tidak lagi diterbitkan. 

Sebelum diberlakukan,  apakah PM No.11 TH 2016 tidak disosialisasikan ?

Pola yang dipakai oleh Kemenhub selalu terbalik-balik. Termasuk dalam menerbitkan kebijakan. Misalnya PM No.11 TH 2016 ini dibuat dulu, baru disosialisasikan. Bukan meminta masukan dulu baru membuat kebijakan.

Sektor pelayaran ini merupakan jantung terakhir yang membutuhkan proteksi negara. Itulah pentingnya Poros Maritim – sebaimana termaktub pada NawaCita Pemerintahan Jokowi terkait kemandirian ekonomi nasional. 

Maka itu pelaku usaha pelayaran meminta Kemenhub membatalkan PM No.11 TH 2016 karena keberadaannya jelas-jelas melanggar UU No. 17 TH 2008 dan UUD 1945. Serta mencderai NawaCita Pemerintahan Jokowi. 

PM apa lagi yang dirasa memberatkan usaha pelayaran ?

Di tengah beratnya persaingan industri jasa pelayaran  nasional memasuki MEA, Kemenhub sebelumnya juga menerbitkan PM No.45 TH 2015 tentang Persyaratan Kepemilikan Modal Badan Usaha di Bidang Transportasi. PM ini juga memberatkan perusahaan pelayaran.

Melalui Permenhub No.45 TH 2015, perusahaan pelayaran diwajibkan bermodal minimal Rp50 miliar dengan modal setor Rp12,5 miliar (Pasal 6 ayat 2). Padahal sebelumnya hanya diwajibkan modal Rp6 miliar dengan modal disetor Rp1,5 miliar. Kebijakan Kemenhub itu justru membebani. Kian memperlemah daya saingnya. Karena selama ini beban pelayaran sudah berat, diantaranya harga BBM jauh lebih mahal  dibanding kapal dari Singapura dan Malaysia. Belum lagi beban pajak yang ditanggung seperti PPN dan PPH sektor jasa transportasi.

Permenhub No.45 itu juga bisa mematikan pengusaha domestik menengah-kecil, namun di sisi lain membuka peluang kepada perusahaan trans-nasional yang umumnya bermodal besar dan bermitra dengan asing. Kebijakan itu bisa dibilang tendensius, karena justru membelenggu kemerdekaan warga negara dalam berusaha yang nota-bene sudah dijamin oleh UUD. Selain itu, Kemenhub No.45 itu merepotkan bagi perusahaan menengah- besar sekalipun, karena harus mengubah akta perusahaan. (win5)

 

Komentar