Desmon: Tidak usah kaget kalau Presiden SBY plin - plan

FIGUR

Desmon J Mahesa

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: getimagesize(http://kanalsatu.com/images/20140919-01930_44.jpg): failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.0 404 Not Found

Filename: models/post_model.php

Line Number: 248

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: getimagesize(http://kanalsatu.com/images/20140919-00415_442.jpg): failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.0 404 Not Found

Filename: models/post_model.php

Line Number: 248

KANALSATU – Panampilannya sangat biasa. Nada bicaranya juga biasa. Tapi dibalik bicaranya suka  berisi nada “menyodok” kanan-kirinya, terutama kepada pihak yang berseberangan atau pihak yang memang perlu “disodok”. Itulah Desmon J Mahesa,  Ketua DPP Partai Gerindra.

Pada Kamis (18/9) – bertempat di Gedung DPR RI-, Desmon kembali melempar “bola liar”. Pria berkacamata minus yang bernama kecil Junaidi ini menanggapi enteng sikap Partai Demokrat yang mendukung pelaksanaan Pilkada Langsung.  Bahkan pria kelahiran Banjarmasin 12 Desember 1965 ini sempat menyatakan,Partai Demokrat tidak pernah tegas dan SBY plin-plan.

"Kalau kita mau jujur, dalam Koalisi Merah Putih, Demokrat tidak pernah tegas. Saya tidak kaget kalau Demokrat  mendukung Pilkada Langsung," kata Desmond di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (18/9/14).

Dalam konteks ini, pernyataan Desmon nampaknya sangat wajar. Betapa tidak, draf  RUU Pilkada yang di-inisiasi oleh Pemerintahan SBY – ternyata ditolak sendiri oleh Presiden SBY dan Partai Demokrat. Wajar saja jika Desmon yang Anggota DPR RI Komisi III ini menytakan Demokrat tidak pernah tegas.

Desmon pun secara terang-terangan menyebut sikap Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) plin-plan. Justru jika sikap SBY konsisten atau tidak berubah, Desmon mengaku akan kaget. "Bukan hal baru dan tidak perlu kaget kalau SBY plin-plan. SBY tidak kuat dengan tekanan publik,” kata mantan aktivis 1998 ini.

Meski sikap Demokrat plin-plan, Desmon meyakini Koalisi Merah Putih di DPR RI akan solid dalam pembahasan RUU Pilkada yang akan dilangsungkan 25 September 2014.

Itulah Desmon. Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta (1998) ini seringkali “menyentil” perasaan orang dengan gaya tanpa merasa bersalah. Bahkan, Desmon yang jebolan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin  dan STIH IBLAM Jakarta ini pernah secara terang-terangan mengatakan mantan Presiden RI Megawati Soekarno Putri sebagai pribadi yang “sombong”.

Sudah demikian, Desmon juga secara terang-terangan menyatakan ogah meminta maaf kepada Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut.

"Ngapain harus minta maaf? Inikan masalah sudut pandang saya yang berbeda dengan sudut pandang mereka. Kenapa harus minta maaf, ada yang salah?" cetus Desmon di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (15/9/14).

Justru, menurut Desmon, ucapannya merupakan sinyal kepada Megawati agar merangkul Koalisi Merah Putih. "Kalau mereka berpikir positif, sebenarnya ini adalah sinyal dari Koalisi Merah Putih. Mega-lah yang sebenarnya harus melakukan komunikasi. Ini sebenarnya adalah isyarat untuk memberikan informasi ke mereka," terang Desmon.

Sebelumnya memang muncul harapan dari banyak pihak bahwa Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebaiknya bisa bersikap bijaksana dengan mencoba menarik dukungan partai politik (parpol) – agar pemerintahan Jokowi- Jusuf Kalla yang diusung PDIP bisa lebih kuat. Namun ajakan banyak pihak ini nampaknya kurang ditanggapi oleh kubu Megawati dan PDIP.

Melihat sikap seperti itu, Desmon menyatakan kuatnya komitmen Koalisi Merah Putih untuk berada di luar pemerintahan Jokowi-JK, salah satunya juga dipicu sikap Megawati yang tidak flexible.  "Ini dipicu sikap Megawati yang sombong. Itu keangkuhan Megawati selama 10 tahun," ungkap Desmon di Gedung DPR RI, Kamis (11/9).

Menurut Desmon, Megawati harusnya lebih bijaksana. “Kita berharap dia menjadi anak ideologis dan biologis dari Bung Karno. Kalau seperti ini, dia tidak bisa bersikap seperti Bung Karno yang negarawan," kata Desmon.

Sebagai contoh, kata Desmon, adalah sikap sinis Megawati kepada SBY yang berlanjut hingga sekarang. “Padahal, SBY sudah bersikap baik terhadap Megawati. Lucu, mereka (PDIP) dulu menolak Demokrat. Sekarang ngajak bergabung," cetusnya.

Keangkuhan Megawati juga ditunjukkan saat Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi meninggal. "Ada tidak Ibu itu, anak Ibu itu, apa Jokowi datang? Almarhum pernah jadi Dirjen Kehutanan di era Presiden Megawati. Ini ada sesuatu yang aneh," kata mantan pengacara ini.

Sebagai partai pemenang pemilu, kata Desmon, seharusnya PDIP berusaha merangkul semua pihak untuk memajukan bangsa. Tak terkecuali partai yang berseberangan. Namun dengan sikap politik dan kenegarawanan Megawati, masyarakat bisa menilai sendiri. "Ini pembelajaran yang baik atau buruk. Silakan menilai," kata Desmon.

Korban Penculikan

Ensiklopedia bebas Wikipedia menuliskan, Desmon mulanya adalah seorang aktivis yang kemudian menjadi politisi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Desmon berhasil duduk di kursi DPR-RI (dapil Kaltim) dengan mengantongi 13.439 suara suara dalam Pemilu Legislatif 2009.

Namanya mulai dikenal publik sejak menjadi aktivis pro-demokrasi dan menjadi salah satu korban penculikan pada 1997/1998 di masa pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Namanya makin dikenal sejak duduk di Komisi III DPR RI.

bersitegang dengan Ruhut Sitompul

Desmon yang berperawakan kecil itu seringkali menyenggol perasaan pihak yang menurutnya memang harus disenggol. Misalnya saat sidang pemilihan Ketua Komisi III DPR RI dimana Partai Demokrat mencalonkan Ruhut Sitompul. Desmon adalah pihak yang secara terang-terangan menolak tegas Ruhut Sitompul sebagai Ketua Komisi. Bahkan politisi Gerindra ini sempat bersitegang dengan Ruhut meski tetap diselingi tawa diantara keduanya.

Desmon berlatar-belakang dari keluarga sederhana di kota Banjar. Kedua orangtuanya, menurut Wikipedia, dikenal bersahaja. Ayahnya, Muchtar (alias Tarlan) bin H. Sirin adalah seorang petani dan buruh kasar. Sedangkan ibunya, Sa’diah binti Ubak, dikenal sebagai pedagang telur di pasar Batuah, Kota Banjar.

Menurut Wikipedia, Junaidi (Desmon) tumbuh besar di Sungai Tabuk dan Pasar Batuah, sebuah kawasan yang padat dan terbilang “kumuh” Kota Banjar. Sejak kecil, untuk anak seusianya, Desmon sudah bekerja keras sambil sekolah - sehingga seorang kerabatnya jatuh simpati membiayainya sekolah.

Namun, ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Junaidi muda mencoba mandiri. Banyak pekerjaan kasar dilakukannya untuk biaya hidup dan kuliah, termasuk kuli bangunan dan cleaning service di kantor, bahkan pernah menarik becak pada malam hari di sekitar Pasar Batuah dan Belauran.

Di kehidupan kampus, Junaidi aktif di Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Unlam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kelompok Studi Islam (KSI), Angkatan Muda Baitul Hikmah dan Lingkungan (KSHL). Juga aktif menulis artikel untuk Koran Banjarmasin Post dan Dinamika Berita. Garis nasib pria berambut jarang ini mulai berubah ketika ia dipercaya dalam Progran Lingkungan Hidup GTZ (kerjasama Indonesia-Jerman) 1989-2004 di Kalimantan Timur.

Setelah hijrah ke Pulau Jawa, Junaidi bekerja di Lembaga bantuan Hukum (LBH) Nusantara, Bandung (1996) dan Jakarta (1998) sebagai Direktur. Suatu hari ketika Desmon Junaidi menghadiri sidang di pengadilan, kedatangannya dipermasalahkan oleh hakim dan Jaksa -karena yang datang bukan Junidi sebagaimana yang tercantum dalam surat kuasa, tapi Desmond. Padahal antara Juanidi dan Desmond itu orangnya sama.

Oleh karena peristiwa tersebut, Junaidi kemudian mengusulkan perubahan nama di pengadilan Negri Jakarta Selatan menjadi Desmond Junaidi Mahesa samapai sekarang. Selain aktif di LBHN, Desmond Junaidi Mahesa juga aktif di Presidium Nasional Walhi (1995-1996), Konsorsium Pembaharuan Agraris (KPA, mulai 1994), Forum Demokrasi (Fordem) dan SPIDE (Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Untuk Perjuangan Demokrasi).

Setelah bebas dari penculikan, bersama aktivis kampusnya Junaidi  mendirikan yayasan Dalas Hangit (Yadah) di Banjarmasin 1998. Desmon Junaidi juga tercatat sebagai Ketua Yayasan LBH Banjarmasin.

Setelah penculikan dan kembali ke Jakarta, Desmond membuka Kantor Hukum Des & Des di Jakarta pada 1998. Pada tahun 2000 kantor Hukum ini berganti anma menjadi “TREAD’S & Associate”. Diantara kasus yang pernah ditangani adalah kasus Planet Bali, Kartini di Uni Emirat Arab, Bank CIC dan kasus Bank Kesawan.

salah satu Ketua DPP Partai Gerindra

Desmon bahkan pernah menjadi pengacara Tomy Winata (TW)-, salah satu pemilik Group Artha Graha. Desmond mendampingi TW dalam rapat dengar pendapat umum Komisi I DPR pada 27 Maret 2003. Desmon menyelesaikan studi S2 di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Islam, Jakarta, 2004 dengan tesis mengenai reklamasi dan perlindungan lingkungan hidup.

Selama menjadi “penghuni” Senayan, sedikitnya 3 buku telah ditulisnya, yakni: Presiden Offside, Kita Diam atau Memakzulkan (Mei 2012), Menggugat Logika APBN: Politik Anggaran Partai Gerindra (ditulis bersama Fary Djemy Francis, Juli 2012), dan DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia (2013).(win1)

Komentar